REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepribadian Nabi Muhammad SAW memiliki banyak kelebihan selama masa pertumbuhan. Beliau adalah sosok yang unggul dalam pemikiran, pandangan yang lurus, mendapat sanjungan karena kecerdikan, kelurusan pemikiran, dan ketepatan saat mengambil keputusan.
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitabnya Sirah Nabawiyah menjelaskan, Nabi SAW lebih suka diam lama-lama untuk mengamati, memusatkan pikiran, dan menggali kebenaran.
"Dengan akalnya beliau mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrahnya yang suci beliau mengamati lembaran-lembaran kehidupan, keadaan manusia dan berbagai golongan," jelas al-Mubarakfuri dalam kitab yang diterjemahkan penerbit Pustaka Al-Kautsar itu.
Nabi SAW merasa risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Beliau juga berhubungan dengan manusia dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Ketika mendapatkan yang baik, maka beliau mau ikut di dalamnya. Jika tidak, maka beliau lebih suka dengan kesendiriannya.
Nabi SAW tidak mau meminum khamr, tidak mau makan daging hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala, tidak mau menghadiri upacara atau pertemuan untuk menyembah patung-patung. Bahkan sejak kecil beliau senantiasa menghindari jenis-jenis penyembahan yang batil ini.
"Sehingga tidak ada sesuatu yang lebih beliau benci selain daripada penyembahan kepada patung-patung ini, dan hampir-hampir beliau tidak sanggup menahan kesabaran tatkala mendengar sumpah yang disampaikan kepada Latta dan Uzza," kata al-Mubarakfuri.
Karena itu, tidak diragukan lagi memang takdir telah mengelilingi agar Rasulullah SAW di masa pertumbuhannya senantiasa terpelihara. Jika ada kecenderungan jiwa untuk menikmati sebagian kesenangan dunia atau ingin mengikuti sebagian tradisi yang tidak terpuji, maka pertolongan Allah SWT masuk sebagai pembatas antara diri beliau dan kesenangan atau kecenderungan itu.