REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Setelah lepas dari pengasuhan Ibu susuannya Halimah, Muhammad diasuh kakeknya Abdul Muthalib. Kakeknya begitu serius memelihara cucunya dan segala kasih-sayangnya tercurah kepada Muhammad SAW kecil.
"Ketika mendapat kesempatan, diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan," tulis Husen Heikal dalam bukunya Sejarah Muhammad.
Pada saat itulah ia merasa pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu.
Sesudah hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Madinah dengan ibunya tersebut. Kisah yang penuh cinta pada Madinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa, ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal
dan dikuburkan pula di tempat itu.
"Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Makkah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan sudah ditakdirkan menjadi anak yatim," tulis Husen Haekal.
Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu.
"Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatimpiatu," katanya.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abdul Muthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Alquran pun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu.
“Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan itu?” (Ad Dhuha ayat 6-7).
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia 80 tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun.
Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihny, sehingga ia selalu menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun akhirnya meninggal.
Sebenarnya kematian Abdul Muthalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua.
Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali.
Oleh karena itu maka Keluarga Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.