Ahad 17 Oct 2021 12:46 WIB

Macron Kecam Pembantaian Orang Aljazair oleh Polisi Prancis

Pembantaian dilakukan oleh Kepala Polisi Paris Maurice Papon pada 1961.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
 Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP/Ludovic Marin/AFP Pool
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Sabtu (16/10) mengutuk tindakan keras mematikan oleh polisi Paris pada 1961 terhadap orang-orang Aljazair. Hal ini diungkapkan Macron kepada kerabat dan aktivis pada peringatan 60 tahun pertumpahan darah pada 17 Oktober 1961 malam di bawah komando Kepala polisi Paris Maurice Papon.

Macron mengatakan, jasad puluhan pengunjuk rasa yang tewas dalam bentrokan tersebut dibuang ke Sungai Seine. Hingga saat ini jumlah pasti korban tidak pernah diungkap. Macron mengatakan, tragedi berdarah tersebut sudah lama ditutupi dan disembunyikan. Macron mengakui bahwa kejahatan yang dilakukan di bawah komando Maurice Papon tersebut tidak dapat dimaafkan.

Baca Juga

 "Tragedi ini sudah lama ditutup-tutupi, disangkal atau disembunyikan," ujar pernyataan Istana Elysee, dilansir Aljazirah, Ahad (17/10).

Pada 17 Oktober 1961, polisi menyerang demonstrasi yang diikuti oleh 25 ribu pendukung Front Pembebasan Nasional (FLN) Aljazair. Ketika itu mereka memprotes jam malam yang diberlakukan di Aljazair. Unjuk rasa itu digelar di tengah upaya Prancis yang semakin keras untuk mempertahankan Aljazair sebagai koloni Afrika Utara, dan pengeboman yang menargetkan daratan Prancis oleh para pejuang pro-kemerdekaan.

Pada 1980-an, terungkap bahwa Papon telah menjadi sekutu Nazi  dalam Perang Dunia II dan terlibat dalam deportasi orang-orang Yahudi.  Dia dihukum karena kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi kemudian dibebaskan.

Macron adalah presiden Prancis pertama yang menghadiri upacara peringatan tragedi berdarah 1961. Macron mengheningkan cipta selama satu menit untuk mengenang para korban di jembatan Bezons di atas Sungai Seine, di pinggiran Paris. Namun, Macron tidak mengeluarkan permintaan maaf secara resmi. Selain itu, dia juga tidak memberikan pidato di hadapan publik, dan Istana Elysee hanya mengeluarkan pernyataan tertulis.

Macron telah memprioritaskan rekonsiliasi historis dan menjalin hubungan modern dengan bekas negara jajahan Prancis. Tetapi Macron khawatir bahwa hal tersebut dapat memprovokasi reaksi dari lawan politik. Terlebih Macron akan kembali mencalonkan diri dalam pemilihan umum tahun depan.

Pesaing Macron dari sayap kanan nasionalis, Marine Le Pen dan Eric Zemmour adalah kritikus dikenal memiliki komentar pedas atas upaya pemerintah untuk mengakui kejahatan masa lalu. Sejarawan, Emmanuel Blanchard, mengatakan, komentar Macron mewakili kemajuan yang lebih baik ketimbang pernyataan mantan Presiden Francois Hollande pada 2012.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement