MPUI-I: Kepemimpinan Nasional Jauh dari Kepemimpinan Ulama
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Ulama (ilustrasi) | Foto: Dok Republika
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia (MPUI-I) menggelar Seminar dan Lokakarya Problematika Umat Pasca Pandemi. Turut dibahas risalah sikap tentang bangsa yang akan disampaikan kepada ormas-ormas di Indonesia.
Ketua MPUI-I bidang Politik Hukum dan Pemerintahan, Abdullah Hehamahua mengatakan, MPUI-I merupakan silaturahim ormas, parti, tokoh dan aktibis Islam. Tujuannya, mengembalikan ulama di Indonesia kepada posisi yang sebenarnya.
Sebab, MPUI-I melihat selama ini kepemimpinan nasional, daerah dan wilayah sangat jauh dari kepemimpinan ulama. Ia menekankan, MPUI-I ingin mengembalikan ulama ke posisinya karena kemerdekaan Indonesia sendiri diperjuangkan ulama.
Apalagi, dalam perjalanan Indonesia terus menyimpang. Menjauh dari sila pertama Pancasila yang berisikan tauhid, Pasal 29 ayat 1 negara berdasar ketuhanan YME, dan ayat 2 menjamin pemeluk agama, apapun agamanya, menjalankan perintah agamanya.
Ia menegaskan, ayat 1 maupun ayat 2, sudah menerangkan kalau Indonesia negara agama, bukan kapitalis, sosialis apalagi komunis. Belum lagi, konstitusi 1945 yang merupakan produk ulama tapi terus dikudeta mengalami tiga kali amandemen.
"Selama ini kita melihat Indonesia itu jauh dari itu, jauh dari Pancasila," kata Abdullah kepada Republika, Ahad (17/10).
Abdullah melihat, Indonesia sudah liberal melebihi liberal yang ada di AS sekalipun. Bahkan, AS sebagai ibu demokrasi menggelar pemilu tidak one man one vote, tapi masyarakat memilih wakil-wakil dan wakil itu melakukan musyawarah.
Baik itu MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden, turun lagi ke provinsi untuk memilih gubernur, sampai memilih bupati atau wali kota. Apalagi, Abdullah mengingatkan, survei KPK 2019, dari 575 anggota DPR ada 255 merupakan pebisnis.
Maka itu, ia merasa, tidak heran jika orientasi mereka senantiasa bisnis. Bahkan, 90 persen dari 255 itu ditawarkan oligarki, pengusaha, sehingga mereka praktis tidak melakukan usaha-usaha apapun dan cuma menunggu semua beres.
Survei itu, lanjut Abdullah, turut mengungkap biaya caleg-caleg di Pulau Jawa. Mulai dari Rp 1 miliar untuk tokoh-tokoh sampai Rp 5-30 miliar untuk yang bukan merupakan tokoh-tokoh publik, bahkan banyak tidak terpilih jika di bawah itu.
"Imbalannya, undang-undang dan proyek. Karena itu, bisa dicek, proyek-proyek pembangunan itu tidak dikasih ke BUMD, UMKM, tapi ke mereka," ujar Abdullah.
Mulai UU Minerba, UU Covid, UU KPK, UU Omnibus Law, dapat disahkan dalam waktu relatif singkat. Mulai UU Minerba yang diperpanjang 30 tahun, sampai penggunaan dana covid yang tidak bisa dipidana atau diperdata, jadi satu-satunya di dunia.
Belum lagi melihat KPK yang hari ini habis, Omnibus Law, tidak ada lagi proyek proyek yang beroritentasi rakyat. Karenanya, Abdullah turut mengingatkan kepada anggota-anggota DPR amanah yang mereka bawa, jangan sampai mengkhianati rakyat.
"Bagi anggota-anggota DPR tolong tunjukkan karakter, integritas, profesionalisme, umat akan pilih, tidak perlu kau keluarkan uang," kata Abdullah.