REPUBLIKA.CO.ID, — Periode sejak akhir abad 16 sampai akhir abad 19 telah memunculkan tonggak-tonggak intelektualitas yang cemerlang melalui berbagai karya ulama yang monumental dalam berbagai macam ilmu-ilmu keislaman.
Dalam “Sejarah Perkembangna Intelektual Islam di Indonesia: Dari Abad XIX Sampai Masa Komtomper” karya Miftahuddin, di jelaskan bahwa pada abad 17 misalnya, sudah dikenal dua “gelombang” intelektualitas, yang pertama yaitu gelombang pemikiran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin dengan corak “wahdat al-wujud”.
Sedangkan gelombang kedua diwakili tokoh-tokoh ulama pemikir, sufi, dan sekaligus ahli fikih, seperti Nuruddin Ar Raniri, Abdurrauf As Singkili, dan Muhammad Yusuf Al Makassari. Gelombang intelektualitas Islam Nusantara tersebut terus berlanjut hingga abad ke-19.
Pembaruan Islam pertama di Nusantara ditandai dengan munculnya pemikiran Nuruddin Ar Raniri dan Abdurrauf As Singkili pada abad ke-17. Menurut Mifahuddin, inti dari pembaruan ini adalalah mengkritisi pemikiran tasawuf falsafi dan menawarkan bentuk tasawuf Sunni.
Kemudian, wacana pembaruan Islam di Indonesia baru muncul lagi pada masa-masa pertama abad ke-19 dengan mengusung gagasaran “reformasi Islam”. Menurut penulis, saat itu para pelajar Indonesia yang telah belajar di Makkah banyak yang membawa gagasan-gagasan Wahabiyah ke kampung hamanannya.
Kemudian, gagasan-gagasan pembaruan Islam mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun-tahun terakhir abad ke-19. Dengan demikian, semakin banyak kaum Muslim Indonesia yang secara perlahan menyadari apa yang tengah berlangsung di dunia Islam lain, khususnya Mesir.
Sementara itu, gagasan pembaruan yang dikembangkan Jamaluddin Al Afghani (w.1897), syekh Muhammad Abduh (w 1905), dan penerusnya Muhammad Rasyid Ridha (w 1935) mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.
Berbeda dengan kaum pembaru tersebut, tradisi keilmuan pesantren justru berkiblat pada pemikiran-pemikiran Imam Syafii dalam bidang fikih, Abu Musa Al Asy’ari dalam bidang tauhid, dan Syekh Juneid dalam bidang tasawuf.
Oleh karena itu, menurut penulis, tradisi keilmuan pesantren sering disebut dengan tradisional. Sementara, tradisi keilmuan yang berkiblat kepada pemikiran Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha disebut dengan modern atau pembaru.
Baca juga : Alasan Mengapa Umat Muslim Harus Menjauhi Maksiat?