REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - -Selain pernah ikut terlibat dalam pertempuran Fijar, kisah hidup Nabi Muhammad muda juga sempat menjadi delegasi damai. Atas anjuran Zubair bin ‘Abdul-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan acara itu yang dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym.
"Mereka sepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihakyang teraniaya sampai orang itu tertolong," tulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad.
Husen Haekal menuturkan, Muhammad muda menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf’l-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti kukabulkan.”
Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya masing-masing.
Pahit getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum-minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya.
Pertanyannya, adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan dengan mata bernafsu tapi tidak mampu?
"Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah cukup menjadi saksi," katanya.
Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Makkah, yang tidak mempunyai mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Makkah dan bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan demikian itu.
"Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin mendengar, ingin mengetahui," katanya.