Oleh : Freelance journalist, pemerhati isu sosial dan politik.
REPUBLIKA.CO.ID, — Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar Muktamar ke-34 sebagai jalan untuk menentukan pucuk pimpinan 5 tahun ke depan. Sesuai keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar pada akhir September lalu, Muktamar rencananya dilaksanakan di Lampung Tengah, Lampung, 23 - 25 Desember 2021 mendatang.
Dari sekian nama kandidat yang muncul sebagai penantang KH Said Aqil Siroj , sosok KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dinilai yang paling berpeluang. Ulama asal Rembang, Jawa Tengah ini mengusung isu regenerasi sebagai bahan kampanyenya, menawarkan perubahan di struktur kepengurusan pusat NU. Menarik dikaji sejauh mana keseriusan regenerasi akan dilakukan, dan bagaimana NU menyikapinya selama ini?
Menakar regenerasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring memaknai regenerasi merupakan pembaruan semangat atau tata susila sebagai yang utama. Pilihan makna kedua adalah penggantian alat yang hilang atau rusak dengan pembentukan jaringan sel baru, serta makna terakhir adalah penggantian generasi tua kepada yang muda.
Kata regenerasi berasal dari generation, bentuk kata benda yang dalam kamus Oxford berarti all the people who were born at about the same time (Oxford Advance Learner’s Dictionary, New 8th Edition, Oxford University Press, New York, 2010).
Sedangkan bentuk kata kerjanya, generate, berarti to produce or create something. Kemudian ditambahkan awalan “re” ke dalam generate menjadi regenerate, yaitu to make an area, institution, etc. develop and grow strong again.
Merujuk pada makna-makna di atas, regenerasi bukan semata-mata soal mengganti (orang) yang tua ke yang lebih muda, namun bagaimana kemampuan menumbuhkan semangat untuk menjadikan sebuah sistem atau institusi menjadi lebih baik ke depannya.
Apabila nantinya benar-benar maju untuk mempertahankan kedudukannya, Kiai Said akan bertarung dalam usia 68 tahun. Sementara Gus Yahya yang lahir pada 1966, kini berumur 55 tahun.
Di Indonesia beberapa jabatan penting memang “diperbolehkan” diisi mereka yang berusia di atas 45 tahun, batasan usia produktif sebagaimana ditetapkan badan kesehatan dunia, WHO, sebagaimana KH Ma’ruf Amin yang menduduki jabatan Wakil Presiden RI di usia 73 tahun.
Ironis memang, karena jika merujuk pada prespektif kesehatan yang disusun Kementerian Kesehatan RI, angka 55, 68, maupun 73 sama-sama masuk pada klasifilasi lansia atau lanjut usia. Pertanyaannya kemudian, di mana letak regenerasinya jika yang menawarkan adalah orang yang tergolong lansia?
Kembali pada kelaziman yang berlaku di Indonesia beberapa pos strategis diisi mereka yang “berumur”, sah-sah saja Kiai Said berkeinginan mempertahankan kedudukannya dan Gus Yahya maju menjadi penantang.
Meski idealnya, jika sungguh-sungguh menginginkan regenerasi berdasarkan perspektif kesehatan dalam pembagian umur, mereka yang berusia di bawah 55 tahun diberikan kesempatan terlebih dahulu. NU sendiri tidak kekurangan stok “generasi muda” yang kapabilitasnya mumpuni untuk menjadi pemimpin organisasi.
Sebut saja Prof H Nadirsyah Hosen, atau Gus Nadir, Gus Ulil Abshar Abdalla, KH Cholil Nafis, KH Asrorun Ni’am Sholeh, atau sosok Gus Baha yang namanya sudah muncul di daftar kandidat berdasarkan survei Indostrategic.