REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) mendapatkan sorotan dan hujan kritik setelah Indonesia mendapatkan sanksi dari Agensi Antidoping Dunia (WADA). Buntut sanksi WADA, Indonesia tak bisa mengibarkan bendera Merah-Putih di ajang internasional. Sehingga saat menjuarai Piala Thomas edisi 2020, yang dikibarkan di Ceres Arena, Aarhus, Denmark, adalah bendera PBSI sebagai induk olahraga bulu tangkis Indonesia.
Pengurus LADI saat ini sudah meminta maaf. Mereka berjanji akan memperbaiki sejumlah kekurangan dan bekerja keras agar sanksi WADA bisa dicabut.
Mantan ketua LADI, dokter Zaini Khadafi Saragih, mengakui LADI punya tugas berat. Di sisi lain, LADI punya keterbatasan sehingga sulit bekerja maksimal. Menurut Zaini, pada masa tugasnya menjabat dari awal 2017 sampai Desember 2020, LADI punya keterbatasan di sumber daya manusia dan keuangan.
“LADI mirip panitia, anggarannya berdasarkan proyek yang kita ajukan. Jadi biasanya bulan Januari dan Februari tidak ada kegiatan LADI karena proyek biasanya baru ada di bulan ketiga ke atas. Untuk bayaran sangat kecil, Rp 300 ribu per bulan," katanya.
Zaini menjelaskan, meski penuh keterbatasan, ia berusaha bekerja maksimal. Pada akhir masa jabatannya. LADI sebenarnya sudah siap mengelar sosialisasi aturan doping 2021. Namun setelah semua siap, aturan WADA yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia tidak dapat disosialisasikan karena masa jabatannya hampir berakhir.
“Saya diminta tidak membawa nama LADI lagi. Aturan doping 2021 juga sudah saya serahkan ke pengurus selanjutnya. Namun memang dari saya sampai ada ketua baru LADI sempat ada kekosongan pengurus,” kata Zaini.
Setelah ketua baru LADI terpilih, Zaini mengaku menunggu jalinan komunikasi. Namun, kata dia, tidak ada pengurus baru yang mengubunginya.
“Ini kemudian banyak yang menyudutkan saya, padahal saya siap memberikan masukan. Saya membela LADI, aneh kalau ada yang menuduh saya ingin menghancurkan," kata pria yang pernah menjadi dokter timnas sepak bola Indonesia ini.