Selasa 19 Oct 2021 18:46 WIB

'Inflasi tidak Selalu Direspons dengan Kebijakan Suku Bunga'

Suku bunga dipertahankan tetap rendah agar likuiditas tetap longgar.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Pedagang beraktivitas di lapaknya di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (28/7). Bank Indonesia mewaspadai dampak dari ketidakpastian global pada tekanan inflasi Indonesia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pedagang beraktivitas di lapaknya di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (28/7). Bank Indonesia mewaspadai dampak dari ketidakpastian global pada tekanan inflasi Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia mewaspadai dampak dari ketidakpastian global pada tekanan inflasi Indonesia. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan tekanan inflasi nasional masih rendah di bawah kisaran inflasi 2-4 persen untuk tahun ini.

"Kita melihat, ekonomi Indonesia sudah membaik tapi permintaan domestik itu masih jauh lebih rendah dari potential output, itulah kenapa inflasi inti rendah bahkan di batas bawah kisaran 2-4 persen makanya belum perlu direspons dari kebijakan suku bunga," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (19/10).

Baca Juga

Perry mengatakan tahun ini suku bunga masih dipertahankan tetap rendah, likuiditas akan tetap longgar. Kebijakan ini kemungkinan akan berlangsung hingga tahun depan. Pada paruh kedua 2022 BI baru akan melakukan penyesuaian, baik dalam bentuk kenaikan suku bunga maupun pengurangan kelonggaran likuiditas.

Disamping itu, BI punya kebijakan-kebijakan lain yang dapat diarahkan untuk pro growth. Dalam mengatasi dampak Tapering The Fed, BI akan lebih mengedepankan pada kebijakan stabilisasi nilai tukar, intensifkan koordinasi dengan Kementerian Keuangan agar yield SBN tetap menarik dan aliran portofolio investasi tetap masuk.

Perry menerangkan, fenomena inflasi yang terjadi di negara lain tentu berbeda dengan Indonesia. Ini tergantung pada kebijakan masing-masing dalam menghadapi tantangan. Perry mengatakan saat ini ada ketidakseimbangan pemulihan atau pertumbuhan ekonomi global.

"Negara-negara dengan stimulus fiskal dan moneternya yang besar dan tingkat vaksinasi cepat, pertumbuhan ekonominya cepat, seperti Amerika Serikat tentu mengalami inflasinya tinggi," katanya.

Hal ini dinilai bersifat sementara karena merupakan masa transisi setelah masa resesi tahun lalu. Namun menurut AS, saat menginjak 2022 maka perkembangan inflasi akan bersifat permanen. Hal ini secara komunikatif disampaikan oleh The Fed, termasuk dalam rencananya tapering off.

Indonesia antisipasi rencana pengurangan likuiditas AS itu dengan terus mencermati kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate tahun depan. Di negara lainnya, kenaikan inflasi dapat terjadi karena adanya ketidaksinkronan sisi pasokan atau gangguan pada mata rantai pasok dalam negeri.

Selain itu juga karena penyesuaian harga-harga yang diatur pemerintah. Maka tren kenaikan inflasi, kata Perry, tidak bisa digeneralisasi untuk setiap negara. Hal ini juga karena respons bank sentral masing-masing akan berbeda.

"Ada bank sentral yang mengandalkan respons suku bunga, sehingga kalau ada inflasi maka ada kenaikan suku bunga, tentu ini beda dengan Indonesia karena BI punya lima instrumen kebijakan, tidak hanya suku bunga," katanya.

Perry mengatakan kebijakan BI terkait inflasi tidak hanya bertumpu pada moneter. BI punya tiga pilihan dalam pengelolaan moneter seperti nilai tukar, suku bunga, dan likuiditas yang disebut juga bauran kebijakan.

Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo menambahkan, kenaikan-kenaikan inflasi yang saat ini secara global juga telah disepakati dalam pertemuan IMF-WB sebagai sementara. Kemungkinan, ini masih bisa terjadi hingga pertengahan 2022 karena terjadinya gangguan rantai pasok.

"Tekanannya tidak akan sampai kenaikan inflasi secara permanen berkelanjutan, kita lihat, masih kecil dampaknya ke Indonesia pada indeks harga konsumen," katanya.

Demi meratakan pertumbuhan ekonomi global, IMF-WB juga menyepakati kebijakan untuk meratakan distribusi vaksinasi secara global. Akan ada aksi bersama untuk membuat vaksinasi bisa dijangkau di negara-negara berkembang dan miskin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement