REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korea Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki pengelolaan sampah yang mumpuni. Pengelolaan sampah di Korea Selatan diatur langsung oleh pemerintah dengan keuntungan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Ahli Teknik Lingkungan dari Kyonggi University, Korea, Prof. Seung- Whee Rhee menjelaskan, secara global isu terpenting di bidang pengelolaan sampah dan sirkulasi sumber daya adalah Sustainable Development Goals (SDGs) dan Ekonomi Sirkular yang menyertai netralitas karbon.
Meski telah menetapkan Undang-undang Kontrol Limbah pada 1986, Korsel baru menetapkan Kerangka Undang-Undang tentang Sirkulasi Sumber Daya pada 2017 untuk menggenjot tingkat daur ulang.
"Jumlah timbulan sampah di Korea meningkat dari 346.669 ton/hari pada tahun 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada tahun 2018, dengan CAGR (tingkat pertumbuhan tahunan majemuk) 3,05 persen," ujar Prof. Seung-Whee Rhee pada workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Jumat (15/10).
Workshop ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta.
Peningkatan ini terjadi karena peningkatan bahan baku impor dari luar negeri yang mendorong sampah di negara tersebut. Pada tahun 2019, total biaya impor di Korea adalah 503,3 miliar dolar AS. Hampir 95 persen dari semua energi dan bahan baku diimpor dari luar negeri dan 65 persen penggunaan energi bergantung pada bahan bakar fosil pada 2019.