REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Kesenian Jakarta menggelar STA Memorial Lecture untuk mengenang sekaligus melanggengkan semangat dan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (STA) pada Kamis (21/10). Ketua Akademi Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Seno Gumira Ajidarma dalam sambutannya memaparkan, STA memiliki pemikiran yang sangat menantang ketika polemik kebudayaan terjadi dalam tiga tahap, yakni Agustus-Oktober 1935, April 1936, dan Juni 1939.
"Pemikiran yang menantang menyeruak dari kepala seorang pemuda berusia 27 tahun. Meski masih muda, tapi matang dalam keyakinan," tutur Seno.
Menurut Seno, dengan semangatnya yang tinggi, STA melayani kritik yang datang dari tokoh-tokoh seperti Soetomo, Adinegoro, dan Ki Hajar Dewantara. Ia mengatakan, sudah umum diketahui bahwa perdebatan itu adalah mengenai jalan yang harus dipilih oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemajuan.
Seno melanjutkan dengan menggambarkan suasana polemik antara STA di Betawi dan Soetomo di Surabaya. Dia mengatakan, polemik yang terjadi antara kedua tokoh tersebut bukan semata-mata mencari kemenangan, melainkan mencari kebenaran, yang kemudian dia sebut sebagai polemik yang sehat.
"Kita berada di tahun 2021 dan catatan tahun 1935 itu masih berlaku bahwa Indonesia membutuhkan polemik yang sehat," imbuhnya.