REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Penetapan Hari Santri, pengesahan Undang-Undang Pesantren, Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (Dana Abadi Pesantren), dan terpilihnya wakil presiden dari kalangan pesantren adalah di antara hal yang menunjukkan perhatian besar pemerintah terhadap pesantren. Kerja keras pemerintah dalam melawan pandemi, upaya mempertahankan petumbuhan ekonomi dari serangan badai resesi akibat pandemi, serta perencanaan pembangunan infrastruktur yang digalakkan dengan cukup masif di era pemerintahan Jokowi-KHMa'ruf Amin juga tidak luput dari sorotan.
Hal itu mengemuka dalam sebuah seminar nasional bertajuk “Santri Bicara 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin” yang digelar pada Rabu (20/10) dan dimoderatori oleh Kiyai Saepullah MHum. Acara yang digelar atas kerja sama Pondok Pesantren Fashihuddin Depok, Paguyuban Santri Nusantara (PSN), Aliansi Ibu Nyai Nusantara (AINUN) dan Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM PWNU) DKI Jakarta, ini adalah seminar dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2021.
KH Mukti Ali Qusyairi MA selaku panitia penyelenggara mengatakan, dengan adanya Hari Santri yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sejak periode pertama pemerintahannya, para santri terpanggil untuk merayakan dan mensyukurinya dengan menyelenggarakan beragam kegiatan. Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DKI Jakarta yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Pesantren Fasihuddin, PSN, dan AINUN, lebih memilih menyelenggarakan seminar untuk merefleksikan dan mengapresiasi berbagai kebijakan pemerintah yang terkait dengan pesantren, santri, kiyai, dan masalah-masalah lain mengenai dunia kepesantrenan.
“Sebenarnya pelaksanaan seminar nasional ini lebih merupakan panggilan batin kami sebagai santri dalam rangka merayakan dan mensyukuri adanya Hari Santri Nasional 2021. Di bulan ini pesantren-pesantren menyelenggarakan berbagai kegiatan, mulai dari perlombaan dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk menyemarakkan perayaan Hari Santri Nasional 2021,” kata Ketua LBM PWNU DKI Jakarta ini dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Pada kesempatan yang sama, Pengasuh Pondok Pesantren Fashihuddin Depok KH Asnawi Ridwan fokus menyoroti UU Pesantren yang disahkan DPR pada 2019 dan Perpres Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren (Dana Abadi Pesantren) yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2021.
“Di era pemerintahan Presiden Jokowi dan KH Ma’ruf Amin nama pesantren semakin berkibar dan kembali membangkitkan para santri untuk menampilkan jati dirinya dan eksis dalam keterlibatan pembangunan bangsan ini. Di antara bukti bahwa pemerintahan saat ini manaruh kepedulian kepada dunia pesantren adalah lahirnya berbagai peraturan yang sangat mendukung kemajuan pesantren. Salah satu contohnya adalah terbitnya Perpres Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren atau Dana Abadi Pesantren,” kata Kiyai Asnawi.
Menurut Kiyai Asnawi, ada sejumlah pihak yang menolak dana abadi dari pemerintah untuk pesantren. Sebagian mereka mengatakan bahwa dana tersebut syubhat dan dapat membahayakan eksistensi pesantren, dan karenanya pesantren tidak boleh menerimanya. Untuk menjawab ini, Kiyai Asnawi mengatakan bahwa dana pemerintah berasal dari berbagai sumber di antaranya pendapatan pajak negara yang berpangkal pada tataniaga, seperti perniagaan batu bara, kekayaan alam, dan lain sebagainya.
Di dalam Islam, lanjut Kiyai Asnawi, pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai syubhat sebagaimana dijelaskan di sejumlah kitab fikih, bahkan disebutkan juga di dalam Alquran. “Jadi, pesan saya, kepada seluruh pesantren se-Indonesia, untuk tidak ragu menerima aliran dana abadi pesantren. Karena dana abadi pesantren itu hukumnya halâlan thayyiban, halal dan baik,” tegasnya.
Namun demikian, Kiyai Asnawi memberikan catatan khusus terkait penyaluran dana abadi pesantren. Pertama, dana abadi pesantren harus disalurkan kepada pesantren yang benar-benar membutuhkan, bukan kepada pesantren yang sudah berkecukupan. Kedua, tidak disalurkan atas dasar kepentingan politik. Ketiga, dalam penyalurannya harus dibersihkan dari praktik pungli. Keempat, dalam penyalurannya harus dibersihkan dari unsur suap atau risywah. Kelima, tidak disalurkan kepada pesantren yang terindikasi berpaham anti-NKRI.
Menurut Direktur Nahrawi Center, Ustadzah Amirah Nahrawi, Perpres dana abadi pesantren perlu terus dikawal, dan diambil dari dana APBN tersendiri.
Kiyai Muhammad Didit Sholeh, divisi Qanuniyah LBM PWNU DKI Jakarta, juga menyatakan bahwa perpres tersebut pada satu sisi menggambarkan posisi negara mengakui eksistensi pesantren sebagai oase yang melahirkan pemikir dan pemimpin yang menanamkan visi kebangsaan dan keislaman. Pada sisi lain tantangan bagi pesantren untuk membangun tata kelola keuangan pesantren yang akuntabel serta tetap sebagai kekuatan mandiri yang tidak tumpul daya kritisnya.
Direktur Aliansi Ibu Nyai Nusantara (AINUN) Nyai Hj. Dalliya Hadlirotal Qudsiyah, mengamini pendapat Kiyai Asnawi Ridwan dan Kiyai Mukti Ali Qusyairi. Menurutnya, perhatian pemerintah saat ini kepada pesantren sangat besar. Tetapi yang tidak kalah penting adalah perlunya pemerintah mendengarkan suara-suara perempuan pesantren. Sebut saja, misalnya, dalam hal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Sejauh ini, menurut Nyai Dalliya, pemerintah mendengarkan suara-suara perempuan dari berbagai kalangan, termasuk perempuan pesantren. Hal ini perlu mendapatkan apresiasi. Dan karena RUU PKS masih belum disahkan sampai saat ini, Nyai Dalliya berharap perempuan pesantren terus dilibatkan di dalam forum-forum pembahasan agar dapat mengkaji RUU PKS tersebut dari sudut pandang pemahaman keagamaan yang lebih jernih, tanpa ada kepentingan terselubung, dan jangan sampai ada di dalamnya mengandung kerusakan bagi rumah tangga dan kerusakan hubungan anak dan orangtua.
Merespons pihak-pihak yang menolak dana abadi pesantren, dosen UNUSIA KH Zainul Maarif MHum menyebut ada dua kelompok. Pertama, pesantren yang anti-pemerintah yang secara umum direpresentasikan oleh pesantren-pesantren beraliran Islam radikal. Kedua, pesantren yang dipimpin oleh kiyai yang karena kezuhudannya tidak mau menerima dana dari pihak luar, termasuk dana dari pemerintah.
“Saya kira ada dua kelompok yang menolak menerima dana dari pemerintah, yaitu kelompok anti-pemerintah, mereka membenci pemerintah sehingga tidak mau menerima dana dari pemerintah. Biasanya mereka berasal dari kelempok Islam yang agak keras. Kemudian juga pesantren yang dipimpin oleh seorang kiyai yang sangat zuhud dan tidak mau mendapatkan bantuan dari pemerintah. Ada juga pesantren yang seperti ini,” kata Kiyai Zainul Maarif yang juga pengajar di Pondok Pesantren Ciganjur.
Selain itu, Kiyai Zainal Maarif, pada masa pandemi ini, persoalan pendidikan tidak boleh dilupakan. Sejak akhir tahun 2020, banyak sekolah baik negeri maupun swasta yang terpaksa tutup karena pandemi, sehingga membuat anak-anak didik sangat minim menerima pelajaran. Tetapi pemerintah tidak menutup pesantren dan membiarkan para santri tetap menerima pelajaran secara langsung.
“Tentu saja ini menjadi solusi sangat jitu di mana belakangan banyak orang tua yang mengirim anak-anaknya untuk belajar di pesantren daripada hanya berada di rumah. Tetapi, pemerintah pun tetap memberikan jaminan kesehatan bagi para santri agar proses pendidikan mereka di pesantren tidak terganggu,” papar Kyai Zainal Maarif.
Ibu Nyai muda Izzah Farhatin Ilmi mengapresiasi kebijakan dalam menjamin kesehatan para santri, Pemerintah memberikan vansinasi gratis bagi seluruh santri di seluruh pesantren se-Indonesia. Karena para santri sudah vaksin, sehingga bisa meneruskan proses belajar dan mengaji secara maksimal.
Pada akhirnya, para kiyai dan bu nyai yang berjumlah 30 yang hadir secara offline menghimbau dan mendorong seluruh pesantren untuk tidak ragu menerima dana abadi pesantren dari pemerintah, sebab dalam pandangan keagamaan adalah halalan thayyibah.