REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekitar 43 negara pada Kamis (21/10) menandatangani pernyataan yang mengkritik China terkait dugaan penyiksaan terhadap sebagian besar Muslim Uighur. Mereka juga menyatakan keprihatinan khusus dengan keberadaan kamp pendidikan di Xinjiang.
Pernyataan tersebut dibacakan oleh Duta Besar Prancis untuk PBB, Nicolas De Riviere pada pertemuan Komite Hak Asasi Manusia PBB. “Kami menyerukan China untuk mengizinkan akses yang tak terbatas ke Xinjiang bagi pengamat independen, termasuk Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia,” kata pernyataan 43 negara tersebut, dilansir Aljazirah, Jumat (22/10).
Pernyataan tersebut menggarisbawahi ketegangan jangka panjang antara China, dan demokrasi liberal dunia atas hak asasi manusia. Ini adalah ketiga kalinya dalam tiga tahun, Amerika Serikat (AS) dan sebagian besar negara-negara Eropa menggunakan pertemuan Komite Hak Asasi Manusia untuk mengkritik China atas kebijakannya terhadap Uighur.
Pada 2019, sebanyak 23 negara menandatangani pernyataan yang dibacakan oleh Inggris. Kemudian pada 2020, sebanyak 39 negara menandatangani pernyataan yang dibacakan oleh Jerman. Pada 2021 ada empat negara lain yang ikut berpartisipasi dalam penandatangan tersebut.
Sementara itu, Swiss membatalkan untuk ikut dalam penandatanganan tersebut karena belum lama ini menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi antara AS dan China. Swiss memutuskan untuk memprioritaskan perannya sebagai fasilitator antara AS dan China, ketimbang menandatangani deklarasi tahunan yang menyerukan penghormatan untuk hak asasi manusia di Xinjiang.
“Kami telah melihat peningkatan jumlah laporan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan sistematis, termasuk laporan yang mendokumentasikan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, sterilisasi paksa, kekerasan seksual dan berbasis gender, serta dan pemisahan paksa anak-anak," ujar pernyataan 43 negara tersebut.
Negara-negara tersebut menyatakan, ada pembatasan ketat pada kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan bergerak, berserikat dan berekspresi serta budaya Uighur. Selain itu, terjadi pengawasan yang meluas dan terus menargetkan warga Uighur, serta anggota minoritas lainnya. Mereka mendesak Kepala Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet, dan pejabat PBB lainnya untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.