Sabtu 23 Oct 2021 07:39 WIB

Kejagung Selesaikan 313 Perkara dengan Restorative Justice

Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum.

Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum. Foto:   Hukum dan Keadilan (ilustrasi)
Foto: RESPONSIBLECHOICE
Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum. Foto: Hukum dan Keadilan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Kejaksaan Agung telah menyelesaikan 313 perkara melalui mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif. Data ini dilakukan hingga Oktober 2021. 

Restorative justice merupakan upaya penyelesaian perkara di luar jalur hukum atau peradilan, dengan mengedepankan mediasi antara pelaku dengan korban.

Baca Juga

"Sampai dengan 18 Oktober 2021 tercatat sebanyak 313 perkara berhasil diselesaikan dengan Restorative Justice," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jumat (22/10).

Burhanuddin menekankan agar penerapan mekanisme Restorative Justice di Kejaksaan dapat diterapkan dengan baik dan profesional. 

Ia menjelaskan bahwa proses tersebut diperlukan agar keadilan korban yang terenggut dapat benar-benar dipulihkan sehingga tidak menyisakan rasa dendam.

"Saya telah perintahkan pada Bidang Pengawasan untuk turut mengawasi, untuk itu jangan pernah saudara melakukan tindakan tidak terpuji dalam melaksanakan RJ (Restorative Justice)," katanya. 

Pendekatan mekanisme hukum tanpa dibawa ke meja hijau dikenal sebagai restorative justice. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengedepankan pendekatan mediasi antara pelaku dengan korban. 

Burhanuddin juga telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Aturan tersebut memungkinkan penuntutan kasus pidana yang ringan tak dilanjutkan apabila memenuhi sejumlah persyaratan.

Dalam Pasal 5 aturan itu, disebutkan bahwa perkara dapat dihentikan apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan hanya diancam edngan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.

Kemudian, nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus  ribu rupiah.

Burhanuddin sebelumnya mengakui bahwa upaya penegakan hukum saat ini masih mengutamakan aspek kepastian hukum dan legalitas formal dibandingkan dengan keadilan yang substansial bagi masyarakat. 

Sehingga, kata dia, tak kaget apabila banyak masyarakat yang memandang bahwa penegakan hukum itu seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement