REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Turunan dari varian Delta yang dikenal sebagai subtipe AY.4.2 kini sedang dalam dipantau secara ketat oleh ilmuwan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Israel. Meski cukup langka, AY.4.2 sudah teridentifikasi di AS.
"(Subtipe) ini di bawah 0,05 persen dari seluruh rentetan virus kami, dengan jumlah yang dilaporkan kurang dari 10 dalam basis data kami sejauh ini," jelas Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dalam pernyataan resmi mereka, seperti dilansir Science Alert, Sabtu (23/10).
AY.4.2 memiliki garis keturunan induk yang dikenal sebagai AY.4. Hingga saat ini, AY.4 telah merepresentasikan sekitar 11 persen dari virus-virus varian Delta di Amerika Serikat.
Meski banyak garis keturnan AY dari varian Delta yang telah terdokumentasikan sampai saat ini, AY.4.2 menyita perhatian banyak pemantau virus di berbagai belahan dunia. Alasannya, subtipe ini memiliki dua perubahan yang berlokasi di bagian spike protein virus.
Perubahan ini berpotensi dapat memberikan beberapa keuntungan bagi AY.4.2. Akan tetapi, hal ini masih belum benar-benar jelas.
"Saat ini, tidak ada bukti bahwa sub lineage AY.4.2 berdampak pada efektivtas dari vaksin atu terapi kita saat ini," ujar CDC.
Di Inggris, UK Health Security Agency mengungkapkan bahwa AY.4.2 saat ini tampak menyebar dan mengalai peningkatan frekuensi. Sedangkan di Israel, pemerintah baru saja melaporkan kasus pertama Covid-19 yang disebabkan oleh AY.4.2.
"Kita perlu penelitian mendesak (untuk mengetahui seberapa besar ancaman dari AY.4.2)," ungkap mantan komisioner Food and Drug Administration Scott Gottlieb melalui akun Twitter pribadinya.
Akan tetapi, Direktur University College London Genetics Institute Profesor Francois Balloux mengatakan situasi saat ini terkait AY.4.2 tampak tidak sebanding dengan kedaruratan varian Alpha dan Delta yang sjeauh ini lebih mudah menular dibandingkan strain-strain lain yang ada pada saat awal kemunculannya. Menurut Profesor Balloux, AY.4.2 memiliki potensi menyebabkan sedikit peningkatan dalam hal kapasitas penularan.
"Yang tidak akan memiliki dampak sebanding pada pandemi," jelas Profesor Balloux.