REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli telah menyelidiki apakah karakteristik genetik tertentu dapat membuat seseorang kebal terhadap infeksi SARS-CoV-2. Proyek studi yang disebut Covid-19 Human Genetic Effort ini berusaha menggali pengaruh genetik terhadap kekebalan dan keparahan Covid-19.
Ini mirip dengan yang terjadi pada Stephen Crohn, pria yang dijuluki kebal terhadap AIDS. Pada akhir 1970-an setelah kekasihnya meninggal karena AIDS, Crohn secara sukarela menawarkan dirinya memiliki sel darah putih yang terpapar HIV. Namun yang mengejutkan, pria asal New York itu tak bisa terinfeksi virus HIV meski sudah menggunakan konsentrasi yang ribuan kali lebih kuat.
Setelah dilakukan berbagai studi, para peneliti akhirnya menyimpulkan bahwa Crohn memiliki satu mutasi genetik yang tampaknya membuat dia kebal akan virus HIV. Dan penemuan itu akhirnya mengarah pada pengembangan obat antivirus yang sekarang digunakan untuk mengobati kondisi tersebut.
Salah satu karakteristik paling mencolok dari SARS-CoV-2, virus corona baru yang bertanggung jawab atas pandemi global ini, adalah betapa tak terduganya pengaruhnya pada setiap individu. Memang, para peneliti telah mengembangkan gambaran yang cukup konsisten tentang siapa yang paling berisiko terkena keparahan Covid-19, namun ada banyak kasus tentang orang muda dan sehat yang menyerah pada Covid-19. Di sisi lain, banyak juga orang yang masih kebal saja dan tidak mengalami efek buruk apa pun dari Covid-19.
Beberapa peneliti menduga karakteristik genetik yang unik dapat menjelaskan mengapa beberapa orang tampaknya resisten terhadap Covid-19 meskipun terpapar virus secara signifikan. Tapi, mengidentifikasi orang dengan kekebalan genetik potensial terhadap Covid-19 itu sulit.
Tidak etis untuk mengekspos seseorang ke virus untuk melihat apakah mereka akan terinfeksi atau tidak. Jadi para peneliti mengandalkan pelacakan individu yang kemungkinan besar terpapar, namun tidak mengalami tanda-tanda penyakit.
Klaster keluarga Covid-19 adalah kandidat yang ideal untuk proyek ini: semisal pasangan suami istri yang salah satunya dikonfirmasi positif Covid-19 dan menunjukkan gejala, sementara pasangannya tidak menunjukkan gejala apapun bahkan dikonfirmasi negative melalui tes PCR. Istilah untuk menyebut kasus ini adalah discordant couples.
Sebuah artikel perspektif baru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Immunology, mengusulkan strategi untuk mengidentifikasi, merekrut, dan menganalisis secara genetik individu yang secara alami resisten terhadap infeksi SARS-CoV-2. Artikel yang ditulis oleh belasan peneliti yang terlibat dalam konsorsium Covid-19 Human Genetic Effort berpendapat bahwa penelitian sebelumnya tentang resistensi genetik terhadap infeksi HIV bisa dijadikan acuan untuk mengembangkan terapi baru yang signifikan terkait Covid-19.
“Tidak ada obat spesifik yang efektif melawan COVID-19 yang ditemukan sejak awal pandemic. Pelajaran yang dipetik dari eksperimen alam berpotensi mengarahkan kita menuju perawatan khusus untuk Covid-19,” kata peneliti seperti dikutip dari New Atlas, Sabtu (23/10).
Sebuah studi pendahuluan, yang belum diterbitkan dalam jurnal peer-review tetapi tersedia sebagai pracetak, melaporkan penyelidikan awal dari 86 discordant couples. Temuan menunjukkan mungkin tidak ada varian gen tunggal yang memberikan resistensi terhadap Covid-19, tetapi itu bisa menjadi kumpulan varian gen yang terkait dengan aktivitas sel kekebalan tertentu.
Proyek yang sedang berlangsung telah mendaftarkan lebih dari 400 orang. Siapa pun yang tertarik untuk berpartisipasi dalam proyek ini dapat terlibat melalui situs web Covid-19 Human Genetic Effort.