Ahad 24 Oct 2021 05:17 WIB

Menjelang Pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah

Perasaan cinta Khadijah kepada Nabi Muhammad semakin bertambah.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Menjelang Pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. Foto:   Mencintai Nabi Muhammad SAW (ilustrasi)
Menjelang Pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. Foto: Mencintai Nabi Muhammad SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Muhammad dan Maisara telah kembali ke Makkah setelah menyelesaikan perdagangannya Khadijah binti Khuwailid.  Selesai dagang, kini gilirannya dia menceritakan pengalamannya kepada Khadijah bintI Khuwailid atas saran Maisara.

"Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu,” saran Maisara seperti ditulis Husen Haekal dalam bukunya Sejarah Muhammad.

Baca Juga

Atas saran itu Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Makkah. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya. 

"Khadijah turun dan menyambutnya," katanya.

Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. 

"Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan," katanya.

Sesudah itu Maisarapun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tingginya budi pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya. 

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah berusia 40 tahun, dan yang sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. 

Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa bint Mun-ya - kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata.

"Kenapa kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?”

“Siapa itu?”

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.”

“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. 

Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan.

"Serahkan hal itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan.

Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-istri dan ibu-bapa, suami-istri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement