REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem perbankan syariah perlu dukungan khusus agar bisa meraih keuntungan dan bagi hasil yang lebih kompetitif. Peneliti Ekonomi Syariah INDEF, Fauziah Rizki Yuniarti mengatakan keuntungan berasal dari kontrak murabahah dan bagi hasil berasal dari kontrak musyarakah, mudharabah.
"Kalau dilihat dari portofolio pembiayaan bank syariah nasional dan mayoritas global, masih fokus di pembiayaan murabahah sebagai income generator," katanya pada Republika.co.id, Ahad (24/10).
Termasuk di Bank Syariah Indonesia sebagai benchmark bank syariah terbesar nasional saat ini. Fauziah menyebut kontrak murabahah ini memang sangat diminati oleh perbankan syariah karena perhitungan risk-return-nya paling menarik.
Sehingga, jika ingin membantu pertumbuhan bank syariah, maka regulator juga bisa membuat regulasi supaya rasio keuntungan di murabahah bisa kompetitif. Agar tetap menjadi pilihan nasabah dibanding dengan produk konvensional.
Sementara itu, untuk rasio bagi hasil sendiri membutuhkan dukungan lebih dari pemerintah. Karena, selain harus kompetitif dibanding dengan produk murabahah, tetapi juga kompetitif terhadap produk konvensional.
"Supaya bank syariah lebih tertarik untuk memasarkannya jadi ada supply, dan nasabah lebih tertarik untuk menggunakannya sebagai demand," katanya.
Dari portofolio pembiayaan BSI pada Desember 2020 dan Agustus 2021, pembiayaan murabahah mengalami kenaikan porsi dari 36,81 persen senilai Rp 88,2 triliun menjadi 38,22 persen senilai Rp 95,1 triliun. Sementara musyarakah menempati porsi 21,12 persen pada Agustus 2021 senilai Rp 52,6 triliun dari 21,24 persen pada Desember 2020 senilai Rp 50,8 triliun.
Pada Agustus 2021, sisa portofolio ditempati oleh akad Qard sebesar 3,61 persen senilai Rp 8,9 triliun, mudharabah sebesar 0,89 persen senilai Rp 2,2 triliun, Ijarah sebesar 0,03 persen dan istishna.