Selasa 26 Oct 2021 08:26 WIB

Tahun 2021, Hiperinflasi di Indonesia?

Faktor penyebab hiperinflasi saat ini kemungkinan besar karena depresi ekonomi.

Murniati Mukhlisin, Rektor Institut Agama Islam Tazkia/Pendiri Sakinah Finance
Foto: dok. Pribadi
Murniati Mukhlisin, Rektor Institut Agama Islam Tazkia/Pendiri Sakinah Finance

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Murniati Mukhlisin, Rektor Institut Agama Islam Tazkia/Pendiri Sakinah Finance

 

Ratih, Alumni Sakinah Finance pagi-pagi mengajak diskusi tentang hiperinflasi. Entahlah mengapa tiba-tiba dia memikirkan topik itu tapi yang jelas topik ini makin hangat di media dikarenakan mencuitnya berita bahwa Amerika Serikat dan seluruh dunia akan segera mengalami hiperinflasi.

Apa itu hiperinflasi? 

Hiperinflasi adalah inflasi yang tidak terkendali, kondisi ketika harga-harga naik begitu cepat dan nilai uang menurun drastis karena tidak dibarengi dengan naiknya pendapatan. Hal ini terjadi kadang di luar kendali yang  dalam perekonomian suatu negara. Tanda pertama terjadinya hiperinflasi adalah jika tingkat inflasi lebih dari 50 persen dalam satu bulan bahkan bisa sampai dengan 100 persen lebih. 

Faktor penyebab hiperinflasi saat ini kemungkinan besar karena depresi ekonomi yang disulut dari pertumbuhan ekonomi negatif saat pandemi. Di mana - mana ketika inflasi atau hiperinflasi terjadi baik rendah maupun tinggi, rakyat kecil yang akan merasakannya terlebih dahulu karena daya beli mereka tambah lemah. Biasanya dimulai dengan biaya transportasi naik, disusul oleh harga barang lokal termasuk barang impor naik.

Solusinya?

Solusi mengatasi hiperinflasi adalah dengan cara bekerjasama antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah melalui kebijakan fiskal misalnya dengan menurunkan belanja negara. Dari sisi non-moneter dan no-fiskal, pemerintah juga dapat memberikan stimulus kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negeri ini untuk meningkatkan hasil produksi, menyesuaikan Upah Minimum Regional (UMR), serta melakukan pengawasan harga dan peredaran barang di masyarakat.

Tugas rakyat sebagai pelaku UMKM adalah pertama: menggunakan barang baku dari dalam negeri, memperkerja penduduk lokal serta meningkatkan kualitas produksi sehingga dapat lebih diterima oleh masyarakat sendiri. Promosi produk halal dengan mencantumkan sertifikasi halal juga sangat bermanfaat bagi para pelaku UMKM. Hal ini untuk mengurangi belanja barang impor yang sehingga uang hanya beredar di dalam negeri.

Kedua: karena faktor lain adalah  rendahnya nilai mata uang disusul dengan kenaikan pendapatan yang tidak seimbang, maka rakyat juga perlu membuat pengaturan belanja rumah tangga yang lebih baik. Memilih dan memilah apa yang diperlukan (kebutuhan, primer, didahulukan) dan apa yang diinginkan (impian, sekunder atau tersier, dibelakangkan). Ketiga: melejitnya “cryptocurrency” dengan hasil menambang mungkin dapat memicu hiperinflasi sehingga rakyat perlu mengkaji tentang batas kenormalan serta nilai - nilai syariah dalam praktiknya.

Apakah Indonesia akan mengalami hiperinflasi?

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat inflasi Januari–Mei 2021 adalah sebesar 0,90 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Mei 2021 terhadap Mei 2020) adalah sebesar 1,68 persen.

Hal tersebut bukan merupakan ciri hiperinflasi. Menteri Keuangan juga mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga 2021 ini mengalami kenaikan menjadi positif 4,3 persen yang berarti Indonesia sudah keluar dari depresi ekonomi 2020-2021.

Namun, dengan berita yang disinyalir akan adanya hiperinflasi di Amerika Serikat, Indonesia bisa saja mengalami imbasnya (imported hyperinflation). Hal ini karena hubungan bilateral termasuk perjanjian perdagangan di kedua negara. 

Tentu saja kita harapkan pemerintah dan rakyat dapat bekerjasama dalam mengatasinya juga belajar dari pengalaman dahulu. Pengalaman hiperinflasi bagi Indonesia adalah ketika  di awal kemerdekaan sebesar 100 persen karena diberlakukannya blokade dagang Belanda. Selanjutnya tahun 1966 sebesar 635 persen yang disebabkan oleh kekacauan politik di masa itu.

Bagaimana perspektif Islam dalam penentuan harga?

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menjawab tentang penentuan harga yang dijawab oleh beliau:  “Allah adalah Dzat yang mencabut dan memberi sesuatu, Dzat yang memberi rezeki dan penentu harga” (HR. Abu Daud). Menurut Effendi (2021), dapat disimpulkan bahwa pada waktu terjadi kenaikan harga Rasulullah SAW meyakini adanya penyebab tertentu yang sifatnya darurat.

Oleh sebab itu, sesuatu yang bersifat darurat akan hilang seiring dengan hilangnya penyebab dari keadaan itu. Di lain pihak Rasul juga meyakini bahwa harga akan kembali normal dalam waktu yang tidak terlalu lama (sifat darurat). Ternyata hadits ini yang menginsipirasi Adam Smith dengan teorinya “Invisible Hand” di dalam buku yang ditulisnya dengan judul “The Wealth of Nations” dipublikasikan tahun 1776. Adam Smith dikenal sebagai tokoh filsafat dan ekonomi termasuk politik yang hari ini patungnya diabadikan di dalam pelataran kampus University of Glasgow, Skotlandia, UK. 

Kita tentu saja bisa belajar dari Yahya bin Umar yang bicara soal harga pasar dalam kitabnya Ahkam al-Suq. Yahya bin Umar hidup di abad 3 hijriyah bermazhab Maliki dengan nama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar Yusuf Al-kannani Al-andalusi, besar di Kordova Spanyol. Kitab beliau yang satu ini mengurai pembahasan masalah ekonomi yaitu tentang hukum-hukum pasar, contohnya tentang ta’sir (penetapan harga). Menarik bukan? Mari kita belajar lagi. 

Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement