REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Inovasi teknologi dan sisi kreatif dari industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) terbilang jarang disorot. Padahal, menurut Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, industri ini bisa dibilang masuk dalam kategori industri kreatif, karena menekankan inovasi kreatif di luar produk tembakau konvensional.
“Industri kreatif bisa diartikan sebagai aktivitas usaha atau bisnis, berkaitan dengan penciptaan ataupun ide, yang dapat dijadikan sebagai produk ekonomi yang menghasilkan. Sehingga dapat disimpulkan HPTL berada dalam lini ini,” ujar Trubus saat dihubungi belum lama ini.
Karena itu, menurutnya, HPTL harus terpisah dari industri hasil tembakau, tidak bisa disamakan, meski sama-sama mengandung nikotin. "Jadi perlu ada kebijakan tersendiri terhadap hasil pengolahan tembakau lainnya," imbuhnya.
Dari sisi penciptaan lapangan kerja, vape sebagai bagian dari HPTL juga mampu membuka jenis-jenis pekerjaan kreatif lain, di luar produksi produk. Hal ini diamini oleh Dimasz Jeremiah, pendiri Ministry of Vape Indonesia (MOVI). Menurutnya, vape sebagai industri kreatif membuka berbagai lini lapangan kerja yang kian beragam “Brewer adalah mixologist yang memiliki kreativitas menciptakan rasa. Vaporista, tenaga sales di toko offline biasanya juga harus menguasai media sosial, dan ilmu pemasaran. Selain itu ada influencer dan content creator, yang membantu pemasaran dengan menggunakan media sosial. Pekerjaan ini juga didukung oleh desain grafis yang mengolah konten, dan juga ada videografer dan fotografer,” ujarnya.
Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menyebutkan, vape sebagai salah satu sektor HPTL, setidaknya memiliki 50.000 tenaga kerja. Mengingat potensi penciptaan lapangan pekerjaan yang bisa lebih besar lagi dan memiliki kemampuan multiplier effect, Trubus pun menilai, perlu ada kebijakan yang membuka investasi seluas-luasnya terhadap HPTL. "Karena itu bisa menyerap banyak tenaga kerja," tutur dia.
Dewasa ini, Vape berkembang menjadi, salah satunya, teknologi sistem tertutup yang meminimalkan malfungsi dan kontaminasi. Sektor ini mampu menarik peminat investasi asing. Negara-negara maju seperti Selandia Baru, Inggris, dan Korea Selatan sudah mengambil langkah terdepan untuk memfasilitasi pertumbuhan industri ini.
Sayangnya, skema regulasi yang ada di Indonesia seperti belum memberikan kemudahan berbisnis untuk para investor vape. Industri ini belum memiliki regulasi yang seimbang. Mulai dari regulasi cukai yang masih sama dengan rokok konvensional. Hingga cukai yang masih timpang antara sistem tertutup dan terbuka. Sistem tertutup dikenakan cukai 45 kali lebih tinggi dari sistem terbuka, sehingga iklim berusaha menjadi tidak setara untuk investor vape sistem tertutup.
"Pemerintah harus membuka ruang untuk investasi masuk ke dalam industri hasil pengolahan tembakau lainnya," tegas Trubus. Kebijakan yang ada saat ini, dinilai dapat menghambat pertumbuhan HPTL sebagai industri kreatif dan peningkatan teknologi di dalamnya. Kondisi yang ada membuat produsen vape sistem tertutup yang mayoritas datang dari luar menjadi terbebani dan berpikir ulang untuk menempatkan investasinya di Indonesia.
"Harus (diatur) ini, supaya pemerintah bisa mendapatkan pajak dari HPTL. Kalau diatur, ini bisa menambah pendapatan negara karena penggunanya semakin lama terus meningkat kalau kita lihat," kata Trubus.