REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM – Para pengunjuk rasa pro-demokrasi menggelar aksi blokir jalan di sejumlah titik di ibu kota Sudan, Khartoum, Selasa (26/10). Mereka berdemonstrasi sehari setelah militer melakukan kudeta dan menangkap Perdana Menteri Abdalla Hamdok.
Dalam aksinya, massa tak hanya memblokir jalan tapi juga membakar ban. Aksi serupa menjalar ke beberapa kota lain. Menurut Komite Dokter Sudan, setidaknya empat orang telah tewas dan lebih dari 80 lainnya mengalami luka-luka akibat ditembak pasukan keamanan.
Personel militer memburu para pengunjuk rasa dan melakukan patroli di lingkungan Khartoum. Kelompok hak asasi manusia (HAM), Human Rights Watch, mengungkapkan pasukan menggunakan peluru tajam saat menghadapi demonstran.
Mariam al-Mahdi, tokoh yang menjabat menteri luar negeri dalam pemerintahan yang dibubarkan militer, menyuarakan penentangan terhadap kudeta. Al-Mahdi menegaskan dia dan anggota pemerintahan Hamdok lainnya tetap menjadi otoritas yang sah di Sudan.
“Kami masih di posisi kami. Kami menolak kudeta dan tindakan inkonstitusional semacam itu. Kami akan melanjutkan pembangkangan dan perlawanan kami,” ujar al-Mahdi.
Pada Senin (25/10) lalu, Jenderal Abdel-Fattah Burhan membubarkan pemerintahan Hamdok dan Dewan Berdaulat. Dewan itu merupakan sebuah badan yang diisi oleh perwakilan militer dan sipil. Mereka bertugas menjalankan pemerintahan pasca-militer menggulingkan pemerintahan Omar al-Bashir pada 2019.
Setelah masa transisi berakhir, Sudan diagendakan menggelar pemilu dan membentuk pemerintahan baru. Namun Burhan telah menyalahkan perpecahan di antara faksi-faksi politik atas kudeta yang dilakukannya.
Burhan mengepalai dewan militer yang ditetapkan memerintah Sudan hingga pemilu digelar pada Juli 2023. Kudeta terjadi kurang dari sebulan sebelum Burhan seharusnya menyerahkan kepemimpinan Dewan Berdaulat kepada warga sipil. Langkah tersebut memang akan menyusutkan kekuasaan militer.
Kendati demikian, Burhan mengatakan dia serius untuk menggelar pemilu sesuai jadwal. Namun masih banyak kesangsian atas komitmen tersebut. Sebab, dalam 19 bulan mendatang banyak hal dapat terjadi. Militer pun bisa saja enggan melepaskan cengkeraman yang telah dimilikinya selama beberapa dekade. Hamdok dan tokoh-tokoh lain di pemerintahan transisi masih ditahan di kamp militer di luar Khartoum.