Selasa 26 Oct 2021 23:02 WIB

Jenderal Militer: Kudeta Sudan untuk Hindari Perang Saudara

Jenderal tinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan menjelaskan alasan dilakukannya kudeta

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Demonstrasi di Khartoum, Sudan untuk menentang kudeta militer terjadi pada Senin (25/10). Jenderal tinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan menjelaskan alasan dilakukannya kudeta.
Foto: EPA/Mohammed Abu Obaid
Demonstrasi di Khartoum, Sudan untuk menentang kudeta militer terjadi pada Senin (25/10). Jenderal tinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan menjelaskan alasan dilakukannya kudeta.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Jenderal tinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan mengatakan keputusannya menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok dilakukan untuk menghindari perang saudara di negara tersebut. Dia pun menjamin Hamdok dalam keadaan baik dan sehat.

Menurut al-Burhan, kekuatan politik di Sudan sudah melakukan hasutan terhadap angkatan bersenjata. Saat ini Sudan diketahui dijalankan pemerintahan transisi yang terdiri dari perwakilan militer dan sipil.

Baca Juga

Al-Burhan mengatakan pihak militer memberikan konsesi yang memungkinkan rakyat Sudan mencapai impiannya. “Kami bertujuan untuk melihat transisi ke pemerintahan sipil. Dalam beberapa hari mendatang, badan peradilan akan dibentuk,” ucapnya dalam sebuah konferensi pers pada Selasa (26/10).

Dia tak menampik, selain Hamdok, militer juga menangkap dan menahan sejumlah politisi lainnya. “Ya, kami menangkap menteri dan politisi, tapi tidak semua,” ujar al-Burhan.

 

Ia memastikan Hamdok dalam keadaan sehat dan akan dipulangkan ke rumahnya saat krisis berakhir. Pada Selasa, para pengunjuk rasa pro-demokrasi menggelar aksi blokir jalan di sejumlah titik di ibu kota Sudan, Khartoum. Dalam aksinya, massa tak hanya memblokir jalan, tapi juga membakar ban.

Aksi serupa menjalar ke beberapa kota lain. Menurut Komite Dokter Sudan, setidaknya empat orang telah tewas dan lebih dari 80 lainnya mengalami luka-luka akibat ditembak pasukan keamanan.

Personel militer memburu para pengunjuk rasa dan melakukan patroli di lingkungan Khartoum. Kelompok hak asasi manusia (HAM), Human Rights Watch, mengungkapkan pasukan menggunakan peluru tajam saat menghadapi demonstran.

Mariam al-Mahdi, tokoh yang menjabat menteri luar negeri dalam pemerintahan yang dibubarkan militer, menyuarakan penentangan terhadap kudeta. Al-Mahdi menegaskan, dia dan anggota pemerintahan Hamdok lainnya tetap menjadi otoritas yang sah di Sudan. “Kami masih di posisi kami. Kami menolak kudeta dan tindakan inkonstitusional semacam itu. Kami akan melanjutkan pembangkangan dan perlawanan kami,” ujarnya.

Pada April 2019, militer Sudan melancarkan kudeta terhadap pemerintahan mantan perdana menteri Omar al-Bashir. Dia dilengserkan setelah memerintah selama 30 tahun. Rakyat Sudan bersuka cita menyambut jatuhnya Al-Bashir. Saat ini dia mendekam di penjara di Khartoum.

Setelah dilengserkan, rakyat menuntut agar pemerintahan transisi dibersihkan dari unsur-unsur Al-Bashir. Setelah itu, Sudan dijalankan oleh pemerintahan transisi gabungan sipil-militer. Pemerintahan tersebut diatur untuk berkuasa selama tiga tahun. Setelah masa transisi berakhir, Sudan akan menggelar pemilu dan membentuk pemerintahan baru.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement