Rabu 27 Oct 2021 10:27 WIB

KPK: Korupsi Paling Banyak dengan Modus Suap

KPK menilai biaya politik lebih mahal dibandingkan harta yang dimiliki paslon.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron melambaikan tangan sebelum memberikan keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). KPK menyatakan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron melambaikan tangan sebelum memberikan keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/8/2021). KPK menyatakan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyampaikan statistik penanganan korupsi paling banyak dengan modus suap. Jumlah kasus korupsi dengan modus suap yakni sebanyak 739 kasus.

Dia melanjutkan, perkara itu melibatkan pihak swasta ketika berkaitan dengan pengurusan izin dan pengadaan barang dan jasa (PBJ). Hal itu terjadi hampir di semua daerah.

Ghufron menuturkan, saat ini 27 kepala daerah dari 34 provinsi tersangkut tindak pidana korupsi. Dia mengatakan, salah satu penyebabnya karena biaya politik tinggi. KPK menilai biaya politik itu bahkan jauh lebih mahal dibandingkan total harta yang dimiliki oleh pasangan calon.

Sehingga, sambung dia, calon bupati memerlukan dana dari sponsor. Hal inilah yang di kemudian hari berpotensi menagih modal kembali melalui pengadaan barang dan jasa yang ada di pemerintah daerah.

"Anomali yang hanya terjadi di Indonesia ketika banyak yang mau jadi bupati dengan mengeluarkan biaya mahal sekitar Rp 5-10 Miliar, sangat jauh dibandingkan dengan hartanya," katanya, dalam keterangan, Rabu (27/10).

Baca juga : KPK Masih Cari Bukti Dugaan Korupsi Toilet 'Mewah' di Bekasi

Ghufron menambahkan, bahwa korupsi merusak tatanan ekonomi. Menurutnya, korupsi telah merusak pasar dan sulit untuk mendapatkan barang dengan harga yang bagus karena adanya suap.

"Gara-gara suap eksploitasi sumber daya alam tidak terkendali, sehingga mewarisi malapetaka kepada anak cucu," kata dia.

Menurutnya, pidana rasuah juga menyebabkan kegagalan terhadap merit system. Akibatnya, sambung dia, pembangunan sumber daya manusia (SDM) terhambat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement