REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Otoritas penerbangan sipil Sudan menangguhkan semua penerbangan ke dan dari Bandara Internasional Khartoum pada Selasa (26/10). Penutupan bandara akibat demonstrasi besar usai pengambilalihan militer ini, akan berlangsung hingga 30 Oktober
Sebelum penutupan tersebut seperti dikutip dari Anadolu Agency maskapai penerbangan nasional Turki, Turkish Airlines, menangguhkan penerbangan antara Turki dan Sudan. Keputusan ini dilakukan setelah militer negara itu membubarkan pemerintah dan memberlakukan keadaan darurat.
Kepala dewan penguasa Sudan, Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, mengumumkan keadaan darurat dan membubarkan Dewan Penguasa Transisi dan pemerintah. Langkah itu dilakukan beberapa jam setelah militer menangkap Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menteri-menteri dalam pemerintahan sipil.
Al-Burhan juga menangguhkan beberapa ketentuan dokumen konstitusi yang menguraikan transisi politik di Sudan. Menurut Kementerian Informasi Sudan, militer menahan Hamdok setelah menolak untuk mendukung kudeta.
Setelah kudeta militer yang gagal bulan lalu, ketegangan mendalam antara militer dan pemerintah sipil meletus di tengah protes saingan baru-baru ini di Khartoum. Sebelum pembubaran, Sudan dikelola Dewan Berdaulat otoritas militer dan sipil yang mengawasi periode transisi hingga pemilihan yang dijadwalkan pada 2023. Ketentuan ini sebagai bagian dari pakta pembagian kekuasaan yang genting antara militer dan koalisi Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan.