REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki membatalkan rencananya mengusir 10 duta besar negara Barat pada Selasa (26/10). Hal itu dilaporkan terjadi karena adanya pembicaraan rahasia antara Turki dengan Amerika Serikat (AS).
Kantor berita berbasis di London, Inggris, Middle East Eye, mengutip sumber resmi Turki, melaporkan, pejabat kepresidenan Turki telah melakukan pembicaraan dengan diplomat AS. Mereka pun mencapai sebuah kesepakatan.
Dalam kesepakatan tersebut, utusan AS, sekaligus mewakili sembilan negara Barat yang duta besarnya hendak diusir Turki, berjanji dan berkomitmen tidak ikut campur dalam urusan internal Ankara. Setelah itu, Kedutaan Besar AS untuk Tukri merilis sebuah pernyataan lewat akun Twitter resminya.
Dalam pernyataannya, AS mengatakan, ia mematuhi Pasal 41 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Beberapa kedutaan lain merilis pernyataan serupa. Sementara beberapa lainnya me-retweet cicitan Kedutaan Besar AS.
Sebelumnya, sepuluh negara Barat, yakni Prancis, Jerman, Belanda, Kanada, Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia, Selandia Baru, dan AS, menyerukan Turki membebaskan pengusaha bernama Osman Kavala. Dia dipenjara pada 2017, meskipun tak dihukum karena kejahatan.
Kavala dibebaskan tahun lalu dari tuduhan terkait protes antipemerintah pada 2013. Namun putusan itu dibatalkan. Dia kemudian dikaitkan terlibat dengan upaya kudeta di Turki pada 2016. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengkritik keras seruan pembebasan Kavala yang disuarakan 10 negara Barat.
Erdogan kemudian memerintahkan Kementerian Luar Negeri Turki untuk menyatakan 10 duta besar dari negara terkait dinyatakan sebagai persona non-grata. “Saya memberikan instruksi kepada menteri luar negeri dan berkata, ‘Anda akan segera menangani deklarasi persona non-grata dari 10 duta besar ini,” katanya.