Rabu 27 Oct 2021 16:16 WIB

KPK Cekal Bupati Hulu Sungai Utara ke Luar Negeri

Pengajuan surat cekal dikirim ke Ditjen Imigrasi pada 7 Oktober 2021.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus raharjo
Pelaksana Harian (Plh) Juru Bicara KPK yang baru Ali Fikri menyampaikan konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/12/2019).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Pelaksana Harian (Plh) Juru Bicara KPK yang baru Ali Fikri menyampaikan konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Kementrian Hukum dan HAM (kemenkumham) untuk mencekal Bupati Hulu Sungai Utara, Abdul Wahid ke luar negeri. Penangguhan perjalanan dilakukan menyusul Abdul Wahid merupakan saksi dari pidana rasuah pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2021-2022.

"KPK telah mengirimkan surat ke Ditjen Imigrasi Kumham RI untuk melakukan pelarangan ke luar negeri terhitung mulai 7 Oktober 2021 hingga selama enam bulan ke depan terhadap satu orang saksi aatas nama AW," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri di Jakarta, Rabu (27/10).

Dia mengatakan, KPK telah mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Imigrasi pada 7 Oktober lalu. Dia melanjutkan, pencekalan itu dilakukan untuk kepentingan penyidikan perkara yang tengah dilakukan KPK.

"Tindakan pencegahan ke luar negeri ini diperlukan, agar saat dilakukan pengumpulan alat bukti oleh tim penyidik khususnya ketika dilakukan pemanggilan dan pemeriksaan, yang bersangkutan tetap berada di Indonesia dan kooperatif memenuhi panggilan dimaksud," katanya.

Seperti diketahui, KPK telah menetapkan Plt Kepala Dinas Pembangunan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (Kadis PUPRT) Kabupaten Hulu Sungai Utara, Maliki (MK) serta dua pihak swasta yakni Direktur CV Hanamas, Marhaini (MRH) dan Direktur CV Kalpataru, Fachriadi (FH) sebagai tersangka. Mereka diduga terlibat perkara penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait pengadaan barang dan jasa tahun 2021-2022.

Sebelumnya, KPK pernah memeriksa Abdul Wahid di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (1/10), sebagai saksi dalam penyidikan kasus tersebut. Saat itu, penyidik mengonfirmasi terkait dugaan pengaturan lelang pekerjaan dan permintaan komitmen fee untuk beberapa proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan/PUPRP di Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Pengaturan lelang itu diyakini dilakukan tersangka Maliki dan pihak terkait lainnya. KPK juga mengonfirmasi Abdul Wahid perihal adanya barang bukti sejumlah uang yang ditemukan dan diamankan pada saat penggeledahan oleh tim KPK beberapa waktu lalu.

Perkara rasuah itu bermula saat Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara melelang dua proyek irigasi yaitu Rehabilitasi Jaringan Irigasi Rawa (DIR) Kayakah, Amuntai Selatan dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 1,9 miliar. Proyek lainnya yakni rehabilitasi DIR Bajang di Desa Karias Dalam, Banjang dengan HPS Rp 1,5 miliar.

Sebelum lelang ditayangkan di LPSE, MK diduga telah lebih dulu memberikan persyaratan lelang pada MRH dan FH sebagai calon pemenang kedua proyek irigasi dimaksud. Dia sepakat memberikan sejumlah uang komitmen fee 15 persen.

CV Hanamas milik tersangka MRH kemudian ditetapkan sebagai pemenang lelang proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar. Sedangkan proyek rehabilitasi DIR Banjang dimenangkan oleh CV Kalpataru milik tersangka FH dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar.

Setelah semua administrasi kontrak pekerjaan selesai lalu diterbitkan Surat Perintah Membayar pencairan uang muka yang tindaklanjuti BPKAD dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana/SP2D untuk pencairan uang CV Hanamas dan CV Kalpataru yang dilakukan MJ sebagai orang kepercayaan MRH dan FH. Sebagian pencairan uang tersebut, selanjutnya diduga diberikan kepada MK yang diserahkan oleh MJ sejumlah Rp 170 juta dan Rp 175 juta dalam bentuk tunai.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement