Mimpi dan Motivasi, Kekuatan Revolusi Pendidikan Papua
Rep: My39/ Red: Fernan Rahadi
Anggota polisi bermain dengan siswa SD Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua (ilustrasi). | Foto: Antara/M Risyal Hidayat
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Berawal dari keprihatinan terhadap kondisi pendidikan di daerahnya yang terbilang masih sangat tertinggal, Elis, seorang guru SD di YPK Yendoker Papua, melangkahkan kakinya ke dalam pelatihan Penciptaan Ekosistem Sekolah Menyenangkan bagi Sekolah Dasar di Kabupaten Supiori di Hotel Prima Inn Yogyakarta, Selasa (26/10).
Pelatihan tersebut merupakan kegiatan akar rumput dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) untuk menggencarkan gagasannya ciptakan revolusi pendidikan di daerah tertinggal.
“Daya juang anak hanya dapat dilahirkan dari ekosistem yang membangun mimpi di masa depan. Yang diharapkan di GSM adalah tumbuh dan terasahnya soft skill anak dan bukan persyaratan administratif, seperti ulangan dan sebagainya. Jika hal tersebut terus bertumbuh melalui akar rumput, kita percaya revolusi (pendidikan) akan terjadi,” Kata pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal saat diwawancarai Republika, Selasa.
Sebenarnya, Elis telah mengikuti GSM jauh sebelum adanya acara tersebut. Pada tahun 2017 ia telah menemukan informasi seputar gerakan ini. Namun, ia baru mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan salah satu leader GSM pada tahun 2019.
“Saya terharu, ada yang sehati dengan saya, orang Papua, terkait pendidikan. Hal itu saya rasakan saat berkomunikasi dengan Bu Tutut Candra, leader GSM Indonesia Timur. Beliau selalu memotivasi saya, bahwa Papua mampu membawa perubahan bagi pendidikan di Indonesia,” tutur Elis sembari meneteskan air mata.
Tersentuhnya hati Elis saat bergabung bersama GSM membuatnya yakin bahwa cara itulah yang dapat mengajak rekan-rekannya menuju revolusi pendidikan di Papua. Pasalnya, ia mengaku teramat prihatin dengan kondisi pendidikan di daerahnya yang masih jauh tertinggal.
“Selain bekerja sama, menyentuh hati guru adalah hal pertama yang harus dilakukan. Tanpa itu, kita tidak bisa mengajaknya berkolaborasi. Hal itu terjadi pada saya saat memulai menerapkan sekolah menyenangkan di kelas saya. Proses menyentuh hati guru itu saya dapatkan dari GSM ini,” ujar elis menambahkan.
Hal itu pula yang membuatnya rela menempuh puluhan kilo jalan terjal untuk mendapatkan sinyal demi cita-citanya tersebut. Ia harus datang ke kabupaten untuk mengikuti acara-acara GSM secara daring. Sebab, di tempat tinggalnya jaringan internet masih belum stabil.
Tak sampai di situ, Elis mengungkapkan keterharuannya bisa bergabung dengan GSM yang tidak membeda-bedakan kami dengan yang lain. GSM dinilainya mampu merangkul seluruh guru tanpa pandang bulu. Rasa kebhinekaan itu yang tidak ditemuinya dalam gerakan-gerakan pendidikan yang lain.
“Satu hal yang saya dapat dari GSM adalah motivasi yang luar biasa dan tidak ada perbedaan. Hal itu yang menjadi kekuatan bagi saya. Di sini, saya merasa betul-betul ada kebhinekaan itu di GSM. Saya belum pernah merasa begitu,” ujarnya terharu.
Setelah mengikuti pelatihan ini, Elis mengungkapkan akan berusaha untuk menyusun kurikulum sekolah sesuai dengan kemampuan anak. Pasalnya, mengikuti kurikulum pemerintah membuatnya kerepotan mengatasi anak di lapangan.
“Bagaimana anak bisa diminta membaca sila-sila dalam Pancasila, sementara anak-anak belum mampu baca,” keluhnya.
Ia juga mengatakan, tak jarang orang tua yang menjemput anaknya di sekolah untuk ikut pergi ke ladang. Persoalan tersebut tak dapat dicegah oleh Elis, lantaran ia tahu bahwa hal itu merupakan cara mereka bertahan hidup.
“Sering orang tua meminta izin pada kami untuk mengajaknya panjat pinang, tapi mau tidak mau kami harus memberinya izin. Sebab, kebutuhan ekonominya menuntut. Hal itu membuat saya terpikirkan untuk membuatnya menjadi pelajaran sekolah, yakni berkebun bersama orang tua,” kata Elis menambahkan.
Sepulangnya dari pelatihan ini, Elis berharap mampu merangkul dan menyentuh hati teman-temannya di Papua untuk menciptakan ekosistem pendidikan baru yang lebih menyenangkan. Sehingga, pendidikan di Papua bisa mengejar ketertinggalannya.