Kamis 28 Oct 2021 01:39 WIB

AJI: Dissenting Opinion Hakim MK Bukti Ada Persoalan UU ITE

Ketua AJI masih mempelajari putusan MK yang menolak uji materi UU ITE.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
UU ITE (ilustrasi)
Foto: republika
UU ITE (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengaku masih mempelajari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE). Di sisi lain, menurut dia, adanya dissenting opinion atau pendapat berbeda dua hakim menjadi bukti adanya persoalan ketentuan Pasal 40 ayat 2b UU ITE.

"Dua pendapat hakim yang berbeda Pak Saldi Isra dan Pak Suhartoyo itu membuktikan memang ada persoalan dalam Pasal 40 ayat 2b UU ITR yang AJI gugat ke MK," ujar Sasmito dalam konferensi pers daring, Rabu (27/10).

Baca Juga

Pasal 40 ayat (2b) UU ITE berbunyi, "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum."

Menurut AJI selaku salah satu pemohon, pelaksanaan ketentuan tersebut belum jelas. Dalam dalil gugatannya, para pemohon meminta pemerintah memberi penjelasan tertulis berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebelum melakukan pemutusan akses dan/atau perintah pemutusan akses informasi elektronik.

Sasmito mengatakan, KTUN tersebut menjelaskan secara pasti dasar-dasar dari pemblokiran konten internet yang dimaksud. Pemerintah justru tidak bisa menjawab latar belakang pemblokiran konten dan alasan dasar konten itu dianggap bermuatan negatif.

"Tidak hanya notifikasi atau pemberitahuan, bahkan notifikasi saja enggak ada," kata Sasmito.

Dia menjelaskan, hal ini tentu merugikan bagi jurnalis dan perusahaan media terutama siber. Pemblokiran konten tanpa penjelasan yang masuk akal dan transparansi terhadap Suara Papua beberapa waktu lalu bisa saja dialami media massa lainnya di kemudian hari.

"Ini sangat rentan disalahgunakan kewenangannya," tutur Sasmito.

Dia juga menyoroti pertimbangan hakim MK yang menilai internet hanya sebagai ancaman. Padahal, menurutnya, fungsi dan manfaat dari internet sangat banyak sebagai sarana penyebaran informasi baik dan pemberdayaan masyarakat, hal ini tidak dilihat dalam pertimbangan hakim.

"Kami sangat menyesalkan sekali karena majelis hakim hanya berpikir satu perspektifnya sama dengan pemerintah melihat internet ini sebagai ancaman," jelas dia.

MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya pada perkara nomor 81/PUU-XVIII/2020 mengenai uji materi Pasal 40 ayat 2b UU ITE. Seluruh dalil permohonan yang diajukan warga Jayapura, Papua, bernama Arnolds Belau dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terhadap pasal 40 ayat 2b mengenai pemutusan internet diputus tidak beralasan menurut hukum.

Namun, dua hakim MK yakni Saldi Isra dan Suhartoyo menyampaikan dissenting opinion. Menurut keduanya, dalam norma pasal 40 ayat 2b UU ITE sama sekali tidak termuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses.

Padahal, kata Saldi, dalam batas penalaran yang wajar, wewenang yang diberikan dalam norma tersebut kepada pemerintah adalah menyangkut atau berdampak pada pembatasan hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara sehingga seharusnya juga diatur secara jelas.

Sekalipun terdapat kewajiban pemerintah menerbitkan penjelasan secara tertulis dalam melaksanakan wewenang dimaksud, kata Saldi, tidak harus berupa keputusan administrasi pemerintahan atau KTUN secara tertulis seperti yang dimohonkan pemohon. Melainkan cukup dengan penjelasan tertulis berupa pemberitahuan baik lewat surat tertulis maupun digital yang disampaikan kepada pengguna informasi elektronik.

Saldi pun menuturkan, seharusnya MK menyatakan pasal 40 ayat 2b UU ITE adalah konstitusional sepanjang dimaknai, "Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum setelah mengeluarkan atau disertai penjelasan tertulis atau digital."

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement