REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah mencatat penulisan Alquranul Karim telah melewati tiga periode, yaitu pada masa Nabi Muhammad, pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu, dan pada masa Utsman bin Affan 2 Radhiyallahu Anhu.
Dikutip dari buku Tajwid Lengkap Asy-Syafi'i karya Abu Ya'la Kurnaedi, pada masa Nabi Muhammad SAW, Rasulullah bersabda:
لا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
"Janganlah kalian menulis dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain Alquran maka hapuslah." (HR Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri).
Pada zaman Nabi SAW, Alquran masih ditulis pada pelepah kurma, papan, kulit binatang, tanah keras, batu dan lain-lain. Beberapa sahabat memiliki catatan kumpulan wahyu ilahi ini, di antara mereka yang masyhur adalah Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu.
Tatkala Kalamullah diturunkan, beliau segera memanggilnya seraya berpesan:
ادعوا لي زيدًا و ليجئْ باللوح و الدواة
"Panggillah Zaid untukku, serta hendaknya dia membawa lauh (alat tulis) dan tinta" (HR Bukhari dan Muslim).
Berkenaan dengan hal itu, Zaid Radhiyallahu Anhu menyatakan:
"Aku adalah jar (tetangga) Rasulullah. Apabila turun wahyu, beliau mengutus (seseorang) kepadaku, maka aku pun menulis wahyu tersebut" (HR Abu Dawud).
Salah seorang Tabi'in, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, berkata:
"Rasulullah wafat, dan saat itu (ayat-ayat) Alquran belum terkumpul pada sesuatu (dalam satu kitab). Ia masih berada pada pangkal dan pelepah kurma" (Jami'ul Bayan).