REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin, menilai, pemerintah perlu mengevaluasi konstruksi komunikasi Istana. Sebab, menurutnya, tugas juru bicara (jubir) di pemerintah saat ini tidak jelas.
"Kita harus lihat konstruksi komunikasi politik yang dibangun Istana kan nggak jelas, ada jubir, ada KSP, ada Setneg. Lalu gimana? Nggak satu pintu," kata Ujang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (27/10).
Menurutnya, peran jubir di pemerintahan Jokowi-Ma'ruf saat ini berbeda dengan era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu jubir Presiden SBY hanya melalui satu pintu yaitu Julian Aldrin Pasha.
"SBY hanya satu pintu jadi komunikasi jalan, nggak ada yang lain," ujarnya. Ujang melihat saat ini ada ketidakjelasan komunikasi. Bahkan saling bantah terjadi di internal Istana.
"Ini kan nggak jelas, siapa yang harus menjelaskan siapa yang membantah, dan kadang beda-beda, bahkan kalau kita lihat ucapannya Moeldoko beberapa bulan yang lalu mengatakan bahwa ucapannya jubir presiden tidak mewakili Istana, yang mewakili adalah Moeldoko dan Pratikno, kan lucu," jelasnya.
"Maksud saya, ini perlu dievaluasi apakah memang perlu ada lagi jubir itu karena memang fungsinya sudah diduduki oleh KSP dan Setneg apakah tidak," imbuhnya.
Terkait kriteria jubirnya seperti apa, menurutnya, hal tersebut merupakan hak presiden. Namun, seorang jubir diharapkan orang yang mampu menjembatani komunikasi antara istana dengan rakyat mengingat posisi jubir sangatlah strategis.