REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia telah menangguhkan bantuan dana ke Sudan, setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil. Militer menangkap para pemimpin politik pada Senin (25/10), sehingga memicu aksi protes nasional dan kecaman internasional.
"Saya sangat prihatin dengan peristiwa baru-baru ini di Sudan, dan saya khawatir dampak dramatis ini dapat terjadi pada pemulihan dan pembangunan sosial dan ekonomi negara itu," ujar Presiden Bank Dunia, David Malpass, dilansir BBC, Kamis (28/10).
Pada Maret, Sudan dapat mengakses miliaran dolar dalam bentuk dana hibah dari Bank Dunia untuk pertama kalinya dalam hampir 30 tahun, setelah melunasi tunggakannya. Pada saat itu, Malpass mengatakan, Sudan telah membuat beberapa kemajuan ekonomi, setelah bertahun-tahun berada dalam krisis yang mendalam.
Bank Dunia telah menyumbangkan bantuan sekitar 3 miliar dolar AS ke Sudan untuk mendukung pertanian, transportasi, perawatan kesehatan dan pendidikan. Dalam pidato bulan lalu kepada Bank Dunia, Perdana Menteri Abdalla Hamdok mengatakan, bantuan dana hibah tersebut mulai membuahkan hasil, karena ekonomi menunjukkan tanda-tanda stabil.
Para pemimpin sipil dan militer Sudan berada dalam perjanjian pembagian kekuasaan yang rapuh selama dua tahun terakhir. Pemotongan bantuan dana kemungkinan akan memiliki konsekuensi bagi ekonomi Sudan yang baru mulai bangkit kembali.
Pemimpin kudeta, Jenderal Abdel Fattah Burhan, bertanggung jawab atas perjanjian pembagian kekuasaan. Dia mengatakan, kudeta perlu dilakukan untuk menghindari perang saudara. Dia bersikeras bahwa Sudan masih bergerak menuju demokrasi dan menggelar pemilihan umum pada 2023.
Pada Rabu (27/10) malam, media pemerintah melaporkan bahwa enam duta besar Sudan telah dicopot dari jabatan mereka oleh militer. Duta besar yang dicopot termasuk perwakilan negara untuk Amerika Serikat, Uni Eropa dan China.
Aksi protes menentang kudeta terus berlanjut. Sedikitnya 10 orang tewas setelah tentara melepaskan tembakan ke kerumunan demonstran. Pasukan militer dilaporkan melakukan pemeriksaan dari rumah ke rumah untuk menangkap penyelenggara protes. Sementara itu, serikat pekerja yang mewakili dokter dan pekerja minyak ikut bergabung dengan aksi protes tersebut.
"Kami berdiri teguh menentang setiap tindakan militer dan segala bentuk kediktatoran," kata juru bicara Asosiasi Perbankan Sudan, Abdul Rashid Khalifa.
Perjanjian antara pemimpin sipil dan militer ditandatangani pada 2019 setelah penguasa Omar al-Bashir digulingkan. Pembagian kekuasaan dirancang untuk mengarahkan Sudan menuju demokrasi. Tetapi perjanjian tersebut telah terbukti rapuh.