REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Little Amal, boneka raksasa setinggi 3,5 meter, telah berjalan sejauh 8.000 kilometer melintasi sejumlah negara Eropa. Kini boneka yang menyuarakan anak-anak pengungsi itu telah mencapai Inggris untuk penghentian terakhirnya.
Little Amal mewakili seorang gadis pengungsi Suriah berusia 9 tahun. Little Amal tiba di Oxford, Inggris beberapa hari lalu dan disambut hangat oleh boneka raksasa Alice in Wonderland dalam rangkaian parade di Inggris. Seperti dilansir laman The National pada Rabu (27/10), pertunjukan yang disebut Amal Meets Alice ini melibatkan parade melalui pusat kota.
Kedua boneka raksasa itu mengambil bagian dalam berbagai pertunjukan di sepanjang jalan. Dibuat oleh penulis Suriah Nadine Kaadan, parade memiliki cerita non-verbal dalam melihat dua karakter melakukan perjalanan melalui kota Inggris yang terkenal untuk mencari kenangan Little Amal tentang rumahnya di Suriah.
Mengambil inspirasi dari Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll, cerita dimulai di "Taman Bunga Hidup" di Kebun Raya. Di sana, anak pengungsi tanpa pendamping tiba dengan sekantong kenangan akan tanah air yang dia miliki. Setelah pertengkaran dengan Ratu Merah meninggalkan ingatan Amal yang tersebar di seluruh Oxford, Alice membawanya dalam tur ke kota asalnya untuk menemukannya.
Bekerja sama dengan The Story Museum, parade melalui Oxford adalah bagian dari serangkaian acara yang berlangsung di Inggris untuk menandai babak terakhir The Walk. The Walk adalah perjalanan 8.000 kilometer melintasi Eropa yang dilakukan oleh Little Amal, sosok boneka setinggi 3,5 meter yang menggambarkan seorang pengungsi anak tanpa pendamping.
Kaadan mengatakan sebagai penggemar berat Carroll, tugasnya menciptakan cerita untuk Amal dan Alice sekaligus mengasyikkan dan menakutkan. "Sulit karena saya harus menggabungkan dua cerita dan dunia yang sangat berbeda ini, tetapi juga mudah karena saya mencintai Alice dan saya juga meninggalkan Suriah," kata Kaadan.
Kaadan bukan seorang pengungsi tetapi dia meninggalkan tanah airnya pada 2011 karena masalah perang. Menurutnya, para pengungsi sering kali hanya mengandalkan ingatan mereka untuk menjaga orang-orang dan tempat-tempat yang telah mereka tinggalkan untuk tetap hidup.
"Bagian favorit saya menulis ini adalah bahwa saya mengenakan kenangan nyata," kata Kaadan. Dia kini menjalankan lokakarya di Oxford dengan wanita pengungsi dari Suriah, Irak, dan Palestina untuk membahas ingatan mereka tentang rumah mereka di tanah air mereka. "Ada banyak emosi," tuturnya.
"Mereka semua ingat kemeriahan hari pertama Idul Fitri dan baju baru yang mereka dapatkan sebagai hadiah. Jadi saya memasukkannya ke dalam cerita. Namun pada akhirnya Amal memberikan gaun yang sangat dicintainya kepada Alice," ujarnya menambahkan.