REPUBLIKA.CO.ID, Di dalam Islam, ada ketentuan khusus yang mengatur hukum mengenai pernikahan. Menikahi wanita hamil akibat perzinaan—seberapa daruratnya pun—harus menyimak konsekuensi hukum yang menyertainya.
Almarhum KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal menjelaskan, hukuman bagi orang yang berzina ada dua. Pertama, pezina berstatus belum menikah, maka ia harus dicambuk sebanyak 100 kali. Hal ini berdasarkan firman Allah Surah An-Nur ayat 2.
Kedua, pezina berstatus telah menikah maka ia harus dilempari batu sampai meninggal dunia. Hanya saja, hukuman ini harus didasarkan pada saksi atau bukti yang menunjukkan secara pasti bahwa ia telah berzina. Karena itu, harus disadari bahwa hukum Islam sangat menjaga diri dan martabat terlebih untuk masalah keturunan.
Islam pun mensyariatkan nikah sebagai sarana menjalin hubungan nasab yang sah. Di samping itu, pernikahan bertujuan untuk pemenuhan hajat seksual yang halal. Imam Ibnu Qudamah, sebagaimana yang dikutip oleh Kiai Ali, memaparkan beberapa pendapat ulama tentang hukum menikahkan wanita hamil akibat berzina.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa secara umum menikahi wanita pezina bagi orang yang mengetahuinya dihukumi tidak boleh, kecuali dengan syarat. Pertama, masa iddahnya sampai ia melahirkan, dan dia tidak boleh menikah sebelum anaknya lahir. Pendapat ini bersumber dari Malik bin Anas, Abu Yusuf, dan satu riwayat dari Imam Abu Hanifah.
Penganut mazhab ini mendasarkan diri pada beberapa dalil. Di antaranya hadis shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa’i. Rasulullah SAW bersabda, “Wanita hamil tidak dinikahkan sebelum ia melahirkan,”.
Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah At-Thalaq ayat 4, “Wa ulaatu al-ahmaali ajaluhunna an badha’na hamlahunna.”Yang artinya, “Wanita-wanita yang hamil, masa iddahnya sampai ia melahirkan,”.
Alasan lainnya, jika diketahui wanita itu hamil oleh lelaki lain (bukan suaminya), maka ia haram dinikahi sebelum melahirkan, sebagaimana wanita-wanita hamil lainnya. Kedua, wanita pezina itu harus bertaubat dan mengakui kekhilafannya. Syarat ini dikemukakan Qatadah, Ishaq, dan Abu Ubaid. Ada juga pendapat dari Mazhab Syafii yang menegaskan bahwa menikahi wanita pezina yang sedang hamil itu boleh tanpa menunggu masa iddahnya. Alasannya, kehamilan yang dialami pezina itu tidak ada hubungannya dengan nasab (status) janin yang dikandungnya.
Karena proses kehamilannya dianggap tidak sah, maka menikahinya pun diperbolehkan sebelum ia melahirkan. Ini seolah ia sedang tidak hamil. Di samping itu, menurut mazhab ini, tidak ada syarat mengikat bahwa pezina itu harus bertaubat dan mengakui kekhilafannya sebelum ia menikah. Hal ini sejalan dengan hadis riwayat Abi Syaibah, Abdul Razak, Said bin Manshur, dan Al-Baihaqi bahwa Sayyidina Umar bin Khattab pernah mencambuk lelaki dan perempuan yang berzina. Beliau ingin mereka menikah, tapi laki-laki itu menolaknya.
Di sini diketahui bahwa taubat bukanlah syarat dibolehkannya menikahi wanita pezina. Dalam contoh tersebut, lelaki yang membangkang itu ditengarai tidak mau bertaubat tetapi Sayyidaina Umar tetap menyuruhnya menikahi pasangan zinanya itu. Argumen ini didukung oleh Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah.
Untuk menentukan status anak dalam rahim wanita pezina itu, ketika ia sudah menikah secara sah, maka harus dilihat dari usia kandungannya sebelum menikah. Dalam fikih islam, usia minimal kehamilan adalah enam bulan. Jika antara ia menikah dan melahirkan terdapat waktu enam bulan, maka nasab anak yang dilahirkannya nanti diikutkan pada suaminya. Namun jika antara pernikahan dengan kelahiran kurang dari enam bulan, maka nasab anak yang dilahirkannya tidak bisa diikutkan pada suaminya, walaupun suaminya terbukti yang menzinainya.