Kamis 28 Oct 2021 22:11 WIB

Survei: 42% Pelaku Bisnis Tekankan Pentingnya Sustainability

penting bagi para pelaku bisnis menciptakan visi, tujuan, dan rencana jangka panjang.

Aktifitas bisnis dalam paparan kurva (ilustrasi).
Foto: Www.freepik.com
Aktifitas bisnis dalam paparan kurva (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Enam dari 10 atau 62% dari perusahaan skala menengah (mid-market) saat ini diyakink percaya bahwa sustainability atau keberlanjutan sama atau bahkan lebih penting daripada kesuksesan secara finansial. Hal ini terungkap lewat hasil survei dari International Business Report (IBR) yang dikeluarkan oleh Grant Thornton.

Aspek lingkungan, sosial, dan peran pemerintah dipandang sebagai keunggulan kompetitif bagi sebagian perusahaan skala menengah. Sekitar 42% pelaku bisnis menekankan pentingnya sustainability atau keberlanjutan karena strategi ini dianggap mampu untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya, sehingga terasa manfaatnya bagi bisnis mereka. 

Laporan ini juga menyebutkan 79% pelaku bisnis skala menengah di Indonesia percaya bahwa sustainability sama pentingnya dengan keberhasilan secara finansial. Bahkan 63% dari mereka berpendapat bahwa sustainability semakin penting sejak pandemi.

Global Services Lines and Capability Grant Thornton International Ltd. Trent Gazzaway menjelaskan, lebih dari setengah (51%) pelaku bisnis skala menengah di Indonesia juga berpendapat bahwa dengan menerapkan prinsip–prinsip sustainability ke dalam aktivitas perusahaan, mereka dapat meningkatkan efisiensi operasional dan menurunkan biaya, sedangkan 47% dari mereka berpendapat bahwa sustainability dapat meningkatkan akses permodalan dan investasi bisnis mereka. Bahkan, kata dia, hasil survei menyebutkan 68% dari pelaku bisnis Indonesia atau yang tertinggi dari seluruh dunia telah mulai mengembangkan strategi sustainability untuk diterapkan ke dalam bisnis mereka.

Walaupun para pelaku bisnis sudah mulai menerapkan prinsip sustainability ke dalam bisnis mereka, tantangan utama bagi banyak pelaku bisnis ini terletak pada pemahaman apa yang harus diprioritaskan. Ini agar dapat maksimal dalam perpindahan ke praktik bisnis yang lebih berkelanjutan, terutama ketika sumber daya yang terbatas menipis karena pandemi. Di Indonesia sendiri, kata dia, 46% pelaku bisnis merasa kurangnya kejelasan seputar kebijakan yang baru merupakan hambatan dalam menerapkan prinsip sustainability ke dalam bisnis mereka.

“Bisnis pasar menengah gesit, mudah beradaptasi, dan banyak yang ingin tetap terdepan, sehingga keberlanjutan masuk akal bagi mereka,” ujar Trent dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (28/10).

“Namun untuk melaporkan aspek-aspek tertentu dari keberlanjutan seperti pengurangan karbon, keragaman dan inklusi, model bisnis mereka dan kepatuhan terhadap persyaratan peraturan, banyak yang merasa sulit untuk memahami apa yang harus diprioritaskan,” ujar dia menambahkan. 

Ia memaparkan, tiga kendala teratas untuk menerapkan keberlanjutan dalam bisnis usaha menengah di Indonesia berdasarkan data IBR terbaru antara lain, pertama, kurangnya kejelasan seputar kebijakan/peraturan baru (46%), kedua, perusahaan sibuk menangani masalah terkait pandemi (40%), ketiga, keengganan pimpinan perusahaan untuk menerapkan keberlanjutan (34%).

"Saran dari pakar akan sangat membantu ketika menavigasi berbagai kerangka pelaporan untuk menerapkan prinsip keberlanjutan ini Sementara kemampuan alami dari para pelaku bisnis pasar menengah untuk beradaptasi sudah membantu dalam menuju prinsip berkelanjutan ini," kata dia.

Ia menyarankan ada baiknya pemerintah, regulator, dan pembuat standar mempunyai peran yang jelas untuk memberikan dukungan dan menetapkan aturan yang jelas dalam hal pembuatan laporan tentang sustainability atau keberlanjutan.

Perjalanan menuju masa depan bisnis yang menerapkan prinsip berkelanjutan bukan hanya tentang pelaporan semata. Meskipun pelaporan penting bagi proses menuju sustainability, namun penting juga bagi para pelaku bisnis untuk menciptakan visi, tujuan, dan rencana jangka panjang yang akan membantu mereka melalui transisi ini.

“Kesediaan untuk mengambil pendekatan jangka panjang – bahkan dalam menghadapi kesulitan jangka pendek – adalah pilar utama keberlanjutan, dan itu akan membantu perjalanan bisnis dengan baik di masa depan”, kata Trent.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement