Jumat 29 Oct 2021 04:41 WIB

Kemunduran Abbasiyah: Kisah Ibu Kota Berpindah ke Samara

Ada apa dengan kemunduran daulah Abbasiyah saat ibu kota berpindah?

Salah satu pemandangan ikonik kota kuno Samara yang tersisa.
Foto: wikipedia
Salah satu pemandangan ikonik kota kuno Samara yang tersisa.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek Panji Astuti, Penulis dan Traveller.

Pemuda itu begitu ketakutan. Ia memacu kudanya tanpa kenal lelah hingga akhirnya tiba di Kota Samarra tengah malam. Diembuskannya napas lega. Ia merasa sudah terbebas dari bayangan yang menghantuinya.

Dalam kegelapan Kota Samarra, tetiba ia menjerit, “Mengapa engkau ada di sini? Aku sudah berlari meninggalkanmu sampai sejauh ini?” tanyanya panik.

“Aku memang punya janji untuk menjemputmu di sini. Di Kota Samarra ini.”

Kisah tentang malaikat maut yang pasti akan datang ke mana pun kita berlari itu sangat terkenal di kalangan para sufi. 

Kota yang digunakan sebagai tempat pelarian pemuda itu pun bermacam-macam. Salah satunya adalah Samarra, seperti yang dipopulerkan kembali oleh pengarang Inggris, W Somerset Maugham.

Samarra adalah kota kuno yang sangat indah. Terletak di tepi timur Sungai Tigris dan dikelilingi dua anak sungai, yaitu Sungai Al Qatul dan Sungai Al Yahud, sehingga menyerupai sebuah pulau.

Menjadi bagian dari daulah Abbasiyah yang didirikan oleh Khalifah Al Mu’tashim Billah. Sekalipun proses pembangunannya telah dimulai sejak tujuh khalifah sebelumnya. 

Perpindahan ibu kota dari Baghdad tersebab sang Khalifah mulai gerah. Ia tak nyaman dengan situasi politik di Baghdad yang kian panas akibat kebijakannya sendiri yang memberi panggung pada para budak militer dari bangsa Turk (orang-orang dari wilayah Asia Tengah).

Tidak aneh sebenarnya, kedekatan Khalifah dengan para budak militer dari bangsa Turk ini karena ibunya berasal dari tempat yang sama.

Nama Samarra berasal dari kata surra man r’a yang artinya menyenangkan bagi yang menyaksikan, seperti tertulis dalam mata uang Abbasiyah. 

Baca juga : 28 Oktober 1928: Tidak Ada Sumpah Pemuda?

Didatangkannya arsitek pilihan dari berbagai negeri Islam untuk membangun kota itu. Desain menara Samarra yang sangat khas menjadi ikon kota yang disesaki dengan istana dan taman indah. 

Permukiman penduduk tertata berdasar kelompok profesi, seperti tentara, pedagang, ulama, dan rakyat biasa.

Sekalipun pencapaian secara fisik luar biasa, pada periode tahun 861-870 M itulah dikenang sejarah sebagai masa “Anarki di Samarra”. Hanya dalam waktu sembilan tahun setidaknya ada pergantian khalifah sebanyak empat kali.

Keempat khalifah itu nyaris tak punya kuasa sebenarnya. Mereka hanya boneka dari para panglima militernya yang saling bertikai, yang kebetulan semuanya adalah bekas budak militer atau keturunannya.

Kekuasaan daulah Abbasiyah makin terkucil dari pengaruh bangsa Arab. Luasnya wilayah membuat kontrol kian sulit dilakukan. Kekacauan dan pertikaian terjadi di mana-mana.

Lemahnya posisi khalifah, baik sebagai institusi negara maupun individu, menyebabkan wibawa pemerintah pusat berada di titik nadir. 

Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya Daulah Abbasiyah. Tidak berdiri tunggal. Semua saling kait-mengait dan mempengaruhi.

Namun, periode perpindahan ibu kota dari Baghdad ke Samarra sering digunakan untuk menandai kemunduran Daulah Abbasiyah secara signifikan.  

Pembangunan istana yang berlebihan, bahkan tercatat Khalifah Al Mutawakkil membangun 24 istana dan yang terkenal di antaranya adalah Al Balkawari, Al Arus, Al Mukhtar, dan Al Wahid. Istana Al Arus merupakan istana yang paling indah. 

Sementara, di waktu yang sama rakyat menjerit kelaparan. Saat itulah pendulum sejarah mulai berubah arah. Sejarah telah mengingatkan. Tidakkah kita mengambil pelajaran?

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement