REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Sebagai firman Allah swt, ayat-ayat dalam Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril. Mekkah dan Madinah menjadi dua tempat di mana ayat-ayat Al Qur’an diwahyukan selama 22 tahun, mulai dari tahun 610 hingga tahun 632.
Setelah Nabi meninggal, dimulailah usaha mengompilasi ayat-ayat Al Qur’an dalam bentuk tulisan. Meninggalnya para penghafal Al Qur’an di medan perang semakin menegaskan pentingnya usaha untuk mengabadikan Al Qur’an dengan medium tulisan.
Ayat-ayat Al Qur’an pun disalin ke permukaan cabang-cabang kayu palem bahkan batu. Usaha yang lebih sistematis untuk menulis dan mengompilasi ayat-ayat Al Qur’an dilakukan oleh seorang sahabat Nabi, Zaid bin Tsabit, bekerja sama dengan Khalifah Umar bin Khattab. Salinan demi salinan pun lahir.
Di beberapa bagian dunia, era menyalin Al Qur’an dengan tangan berakhir dengan kelahiran mesin cetak. Penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Eropa pada pertengahan abad ke-15 membawa era baru dalam usaha untuk menyebarluaskan informasi, pengetahuan maupun ajaran agama.
Dengan sebuah mesin cetak yang bisa dipindahkan (movable type printing machine), salinan suatu tulisan bisa dibuat dengan lebih cepat, lebih jelas serta lebih banyak. Ini juga memungkinkan persebaran tulisan tersebut bisa lebih jauh karena publik lebih mudah mendapatkannya.