REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank BTPN Tbk membukukan laba bersih setelah pajak yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp 2,05 triliun pada kuartal III 2021. Adapun realisasi ini meningkat 32 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 1,54 triliun.
Direktur Utama BTPN Ongki Wanadjati Dana mengatakan peningkatan laba bersih ini ditopang oleh beban bunga turun sebesar 39 persen dari Rp 4,54 triliun menjadi Rp 2,76 triliun. Kemudian biaya kredit juga turun 19 persen dari Rp 1,95 triliun menjadi Rp 1,59 triliun karena penyesuaian metode penerapan PSAK 71.
“BTPN mencatatkan hasil yang baik dari waktu ke waktu, didukung oleh kondisi ekonomi yang membaik dan optimisme masyarakat yang meningkat terhadap pemulihan ekonomi, serta strategi BTPN yang mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam beradaptasi era new normal,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (29/10).
Menurutnya peningkatan laba bersih sejalan pendapatan bunga bersih meningkat lima persen dari Rp 7,93 triliun ke Rp 8,31 triliun pada kuartal III 2021. Perusahaan juga mencatat kenaikan pendapatan operasional lainnya sebesar 11 persen dari Rp 1,31 triliun menjadi Rp 1,45 triliun, yang berasal dari peningkatan pendapatan fee, salah satunya dari penjualan produk investasi.
Perusahaan berhasil menjaga biaya operasional relatif tetap sama tahun lalu sebesar Rp 5,1 triliun. Kemudian beban bunga lebih rendah sejalan tren penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia dan meningkatnya saldo dan rasio current account saving account (CASA).
Peningkatan saldo dan rasio CASA, serta turunnya biaya dana term deposit rupiah, juga mengakibatkan penurunan biaya dana rupiah menjadi 3,5 persen pada kuartal III 2021 dari 5,3 persen pada akhir kuartal III 2020. Perusahaan mencatat peningkatan saldo CASA sebesar 37 persen menjadi Rp 35,57 triliun pada kuartal III 2021 dari Rp 25,95 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Kemudian rasio CASA terhadap total dana pihak ketiga (DPK) juga meningkat menjadi 34 persen dari 26 persen. Pertumbuhan CASA dikontribusikan oleh digital banking, salah satu lini bisnis perusahaan. Adapun jumlah pengguna Jenius tumbuh 22,3 persen menjadi 3,51 juta dan jumlah DPK tumbuh 20,5 persen menjadi Rp14,66 triliun pada kuartal III 2021.
Perusahaan menyesuaikan kebutuhan DPK dengan kebutuhan pendanaan kredit dan kebutuhan likuiditas. Adapun total DPK tumbuh dua persen menjadi Rp 103,23 triliun pada kuartal III 2021 dari Rp 100,80 triliun.
Penyaluran kredit mengalami penurunan sebesar tujuh persen menjadi Rp 137,66 triliun pada kuartal III 2021 dari Rp 148,81 triliun, sebagai dampak dari permintaan kredit yang masih belum kembali ke tingkat permintaan sebelum pandemi.
Penurunan penyaluran kredit juga mengakibatkan penurunan aset sebesar dua persen menjadi Rp 183,02 triliun dari Rp 186,90 triliun. “Terlepas dari penurunan kredit secara tahun-ke-tahun, penyaluran kredit pada kuartal III 2021 menunjukkan peningkatan dibandingkan angka pada akhir kuartal sebelumnya. Jumlah kredit yang diberikan naik sebesar 1,5 persen kuartal ke kuartal dan ini merupakan tanda yang baik, yaitu terjadi peningkatan aktivitas masyarakat,” ucapnya.
Ke depan perusahaan berupaya menjaga kualitas kredit nasabah agar tetap berada level yang sehat. Hal ini tercermin di rasio gross NPL yang berada level 1,56 persen pada kuartal III 2021 atau lebih rendah dibanding rata-rata industri yang tercatat sebesar 3,35 persen pada Agustus 2021.
Selain DPK, perusahaan memiliki sumber pendanaan yang terdiversifikasi termasuk fasilitas pinjaman dari SMBC. Rasio likuiditas dan pendanaan berada tingkat yang sehat, dengan liquidity coverage ratio (LCR) sebesar 224,7 persen dan net stable funding ratio (NSFR) sebesar 114,7 persen pada kuartal III 2021. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) berada tingkat 25,6 persen.