REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menyebutkan, data dari lima Pengadilan Niaga di Indonesia menunjukkan sejak April 2020 hingga Juli 2021 terdapat 1.100 permohonan baru soal kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
"Ini bukan hanya di Indonesia, di beberapa negara di dunia juga terjadi. Bahkan negara-negara tersebut mengambil kebijakan untuk menunda pembayaran utang dan menunda kepailitan," kata Yasona pada kegiatan sosialisasi perseroan perorangan dan seminar kemudahan berusaha yang dipantau di Jakarta, Jumat (29/10).
Indonesia, lanjut dia, berkemungkinan besar juga akan mengambil langkah yang sama sebagaimana dilakukan oleh sejumlah negara soal penundaan pembayaran utang dan masalah kepailitan itu. Anjloknya perekonomian merupakan imbas nyata dari pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020.
Kendati demikian, pemerintah tidak tinggal diam dan melakukan sejumlah upaya dan kebijakan guna mendorong percepatan pertumbuhan perekonomian nasional. "Kebijakan tersebut antara lain memberikan relaksasi yang menghasilkan restrukturisasi kredit lebih dari Rp 1.400 triliun," kata dia.
Pada satu sisi, kondisi itu mengharuskan pihak perbankan ekstra hati-hati dalam mengelola keuangan untuk membantu pengusaha-pengusaha merestrukturisasi utang-utang mereka. Oleh sebab itu, lanjut dia, pemerintah sama sekali tidak menginginkan terjadinya kepailitan suatu perusahaan. Sebab, akan berimbas langsung pada tenaga kerja karena perusahaan tempat mereka bekerja ditutup.
Khusus masalah kepailitan, saat ini pemerintah sedang membahas kemungkinan moratorium kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Tujuannya, untuk menahan munculnya permohonan baru. Pada saat bersamaan pemerintah juga sedang dalam proses revisi UU Nomor 37/2024 tentang Kepailitan dan PKPU yang ditargetkan selesai akhir 2021.