REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM - - Ribuan warga Sudan berencana turun ke jalan dalam aksi menentang kudeta militer, Sabtu (30/10). Awal pekan ini militer yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengambil alih kekuasaan dengan menangkap Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok.
Sedikitnya 11 orang tewas oleh pasukan keamanan dan beberapa aktivis pro demokrasi ditahan selama protes sejak kudeta. Penentang pemerintah militer mulai khawatir akan tindakan keras aparat dan lebih banyak pertumpahan darah.
Namun, para pengunjuk rasa tetap menantang. Penyelenggara demo berharap untuk melakukan pawai 'sejuta kekuatan' melawan perebutan kekuasaan militer. "Kami tidak akan diperintah oleh militer. Itulah pesan yang akan kami sampaikan pada protes tersebut," kata aktivis hak asasi Sudan Tahani Abbas seperti dikutip laman Aljazirah, Sabtu (30/10).
"Pasukan militer berdarah dan tidak adil dan kami mengantisipasi apa yang akan terjadi di jalanan. Tapi kami tidak lagi takut," ujarnya menambahkan.
Seorang aktivis yang menyebut namanya sebagai Mohamed mengatakan tentara harus kembali ke baraknya dan memberikan kepemimpinan kepada Hamdok. "Tuntutan kami adalah negara sipil, negara demokratis, tidak kurang dari itu," ujar Mohamed, yang juga berencana untuk datang memprotes.
Amerika Serikat (AS) mengecam kudeta dan menyerukan pemulihan pemerintah yang dipimpin sipil. AS mengultimatum bagaimana tentara bereaksi pada Sabtu akan menjadi ujian niatnya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pasukan keamanan Sudan harus menghormati hak asasi manusia dan setiap kekerasan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima. "AS terus berdiri dengan rakyat Sudan dalam perjuangan tanpa kekerasan mereka untuk demokrasi," katanya di Twitter.
Pihak berwenang membatasi internet dan saluran dibatasi. Penentang kudeta telah berusaha untuk memobilisasi protes menggunakan brosur, pesan SMS, grafiti, dan demonstrasi lingkungan.
Komite perlawanan berbasis lingkungan, aktif sejak pemberontakan massal terhadap Presiden terguling Omar al-Bashir yang dimulai pada Desember 2018. Mereka telah menjadi pusat pengorganisasian meskipun ada penangkapan politisi kunci.