Ahad 31 Oct 2021 22:33 WIB

Sekjen PBB Desak Militer Kembalikan Konstitusi Sudan

Protes kudeta militer di Sudan terus terjadi hingga telan korban jiwa

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nashih Nashrullah
Demonstrasi di Khartoum, Sudan untuk menentang kudeta militer terjadi pada Senin (25/10). Jenderal tinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan menjelaskan alasan dilakukannya kudeta.
Foto: EPA/Mohammed Abu Obaid
Demonstrasi di Khartoum, Sudan untuk menentang kudeta militer terjadi pada Senin (25/10). Jenderal tinggi Sudan Abdel Fattah al-Burhan menjelaskan alasan dilakukannya kudeta.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mendesak para jenderal Sudan untuk membalikkan pengambilalihan atas negara itu, Ahad (31/10). 

Permintaan ini muncul sehari setelah puluhan ribu orang turun ke jalan dalam protes pro-demokrasi terbesar sejak kudeta pekan lalu. 

Baca Juga

Guterres mengatakan para jenderal harus memperhatikan protes yang berlangsung pada Sabtu (30/10). "Saatnya untuk kembali ke pengaturan konstitusional yang sah," katanya dalam sebuah kicauan di Twitter. 

Pernyataan Guterres merujuk pada kesepakatan pembagian kekuasaan yang membentuk pemerintahan militer-sipil bersama. Kesepakatan itu lahir setelah penggulingan otokrat lama Omar al-Bashir dan pemerintah Islam pada April 2019. 

Guterres menyatakan keprihatinannya tentang kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Dia menyerukan agar para pelaku dimintai pertanggungjawaban. 

Sebanyak tiga orang ditembak mati ketika pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa di Omdurman, sebuah kota yang berdekatan dengan ibu kota Khartoum. Serikat dokter juga mengatakan lebih dari 110 orang terluka oleh peluru tajam, gas air mata, dan pemukulan di Omdurman dan tempat lain di negara itu. 

Dengan kematian pada Sabtu menurut Komite Dokter dan aktivis Sudan jumlah keseluruhan orang yang tewas sejak kudeta naik menjadi 12 orang. Lebih dari 280 lainnya terluka selama seminggu terakhir. 

Sedangkan Utusan Sementara PBB untuk Sudan, Volker Perthes, mengatakan telah bertemu dengan Perdana Menteri  Abdalla Hamdok yang dilengserkan pada Ahad. Dia masih dalam tahanan rumah di ibu kota Khartoum. 

"Kami membahas opsi untuk mediasi dan jalan ke depan untuk Sudan. Saya akan melanjutkan upaya ini dengan pemangku kepentingan Sudan lainnya," kata Perthes. 

Kudeta terjadi setelah berminggu-minggu meningkatnya ketegangan antara militer dan warga sipil. Para jenderal telah berulang kali menyerukan pembubaran pemerintah transisi. 

Jenderal Abdel-Fattah Buhran yang memimpin kudeta, telah mengklaim bahwa pengambilalihan itu diperlukan untuk mencegah perang saudara. Dia mengklaim perpecahan yang berkembang di antara kelompok-kelompok politik. Namun, pengambilalihan itu terjadi kurang dari sebulan sebelum dia menyerahkan sebagian kekuasaan kepada warga sipil. 

Burhan juga mengklaim bahwa transisi menuju demokrasi akan berlanjut. Dia akan segera mengangkat pemerintahan teknokrat baru dengan tujuan mengadakan pemilihan pada Juli 2023. 

Tapi gerakan pro-demokrasi di Sudan khawatir militer tidak berniat untuk mengurangi cengkeramannya dan akan menunjuk politisi yang dapat diatur.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement