Selasa 02 Nov 2021 08:34 WIB

Mobilitas Meningkat, Kemenkeu: Inflasi Berpotensi Menguat 

Natal dan tahun baru jadi momen peningkatan konsumsi yang dorong inflasi.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Pedagang sayur melayani pembeli di kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (25/10). Kementerian Keuangan menyatakan inflasi berpotensi menguat sebesar 1,8 persen (yoy) pada tahun ini seiring pelonggaran aktivitas masyarakat.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Pedagang sayur melayani pembeli di kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (25/10). Kementerian Keuangan menyatakan inflasi berpotensi menguat sebesar 1,8 persen (yoy) pada tahun ini seiring pelonggaran aktivitas masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan menyatakan inflasi berpotensi menguat sebesar 1,8 persen (yoy) pada tahun ini. Hal ini seiring mobilitas masyarakat yang meningkat akibat pelonggaran kebijakan PPKM.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan inflasi berpotensi menguat secara bertahap seiring perkembangan positif mobilitas masyarakat pasca pelonggaran PPKM.

“Adanya Natal, tahun baru dan liburan akhir tahun menjadi momen peningkatan konsumsi, sehingga dapat mendorong kenaikan inflasi,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Selasa (2/11).

Laju inflasi Oktober sebesar 1,66 persen (yoy), meningkat dari angka September 1,60 persen (yoy) dipengaruhi oleh naiknya inflasi administered price seiring meningkatnya mobilitas masyarakat dan melambatnya inflasi volatile food.

Secara bulan ke bulan, terjadi inflasi sebesar 0,12 persen (mtm) sehingga kumulatif sebesar 0,93 persen (ytd) dan secara spasial terdapat 68 kota mengalami inflasi dan 22 kota mengalami deflasi. Inflasi inti pun mulai meningkat meski masih terbatas kisaran 1,33 persen (yoy) dari September sebesar 1,30 persen.

Dia menjelaskan peningkatan mobilitas masyarakat baik di dalam daerah maupun antardaerah mendorong peningkatan permintaan masyarakat. Adapun beberapa kelompok pengeluaran mengalami tren kenaikan inflasi, seperti pada kebutuhan sandang, jasa perumahan, perlengkapan rumah tangga, dan transportasi.

Dari sisi lain, terdapat juga perlambatan terbatas pada kesehatan, pendidikan, dan penyediaan makanan dan minuman atau restoran. Inflasi volatile food mengalami penurunan sebesar 3,16 persen (yoy) atau turun dari angka September sebesar 3,51 persen (yoy) yang dipengaruhi penurunan harga pangan seperti telur ayam ras dan sayur-sayuran.

Anjloknya harga telur disebabkan oleh pasokan telur secara nasional masih surplus karena penyerapan yang belum maksimal akibat berbagai pembatasan kegiatan. Harga sayuran pun menurun karena melimpahnya stok akibat faktor panen namun terjadi peningkatan harga pada komoditas cabai merah, daging ayam ras, serta minyak goreng. Harga minyak goreng meningkat tajam akibat harga Crude Palm Oil (CPO) global yang masih dalam tren meningkat.

Pemerintah berkomitmen untuk menjaga akses pangan masyarakat miskin dan rentan dengan melakukan penyaluran bantuan sosial pangan serta melakukan stabilisasi harga pangan pokok terutama beras. Pemerintah pusat dan daerah juga terus memantau potensi kenaikan harga pangan pada akhir tahun mengingat faktor masuknya musim penghujan dan momen perayaan Natal dan liburan akhir tahun.

Inflasi administered price (AP) melanjutkan tren peningkatan sebesar 1,47 persen (yoy) atau naik dari September sebesar 0,99 persen (yoy) karena didorong oleh dampak peningkatan tarif angkutan udara. Selain itu, komponen AP dipengaruhi oleh dampak kenaikan harga rokok kretek filter dan bensin nonsubsidi yakni Pertamax Turbo dan Dex meskipun relatif kecil.

“Pemerintah tetap konsisten untuk mendukung terjaganya harga energi domestik untuk menjaga momentum pemulihan konsumsi dan menjaga daya beli masyarakat,”  katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement