REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- China dan Rusia mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk melonggarkan sanksi terhadap Korea Utara. Rusia dan China telah membuat rancangan resolusi baru untuk pencabutan sanksi Korea Utara.
Dalam rancangan resolusi baru tersebut, China dan Rusia meminta DK PBB agar menghapus larangan ekspor patung, makanan laut, dan tekstil Pyongyang, termasuk pencabutan batas impor minyak olahan. China dan Rusia ingin DK PBB mencabut sanksi-sanksi itu, dengan tujuan untuk meningkatkan mata pencaharian penduduk sipil di Korea Utara.
Dalam rancangan tersebut, Rusia dan China ingin mencabut larangan warga Korea Utara bekerja di luar negeri, serta membebaskan proyek kerja sama kereta api dan jalan antar-Korea dari sanksi. Pada 2019, Rusia dan China mengadakan dua putaran pembicaraan informal mengenai rancangan resolusi. Tetapi mereka tidak pernah secara resmi mengajukan voting untuk resolusi itu. Korea Utara telah dikenakan sanksi PBB sejak 2006 atas program nuklir dan rudal balistiknya.
Para diplomat pada Senin (1/11) mengatakan, Cina dan Rusia belum menjadwalkan pembicaraan apapun mengenai rancangan resolusi baru mereka. Sebuah resolusi membutuhkan sembilan suara yang mendukung dan tidak ada veto oleh Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Rusia atau China agar dapat disahkan.
“Sudah menjadi keinginan China bahwa kami juga harus mengatasi dimensi kemanusiaan yang disebabkan oleh sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Keamanan,” ujar Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun.
Rancangan resolusi baru akan membuat DK PBB mengakui situasi krisis ekonomi dan mata pencaharian di Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menggarisbawahi perlunya menghormati masalah keamanan Korea Utara, dan memastikan kesejahteraan bagi warganya.
Seorang juru bicara misi AS untuk PBB menolak mengomentari pernyataan Rusia dan China. Dia mengatakan, semua anggota PBB harus fokus menangani mereka yang melanggar sanksi.
"Dewan Keamanan telah berulang kali menegaskan bahwa mereka siap untuk mengubah, menangguhkan, atau mencabut tindakan yang mungkin diperlukan sehubungan dengan kepatuhan DPRK (Republik Rakyat Demokratik Korea). Namun DPRK tidak mengambil langkah untuk memenuhi tuntutan Dewan Keamanan mengenai program nuklir dan rudal balistik yang dilarang," ujar juru bicara itu.
Korea Utara terus mengembangkan program rudal nuklir dan balistiknya selama paruh pertama 2021. Pengembangan program rudal nuklir tersebut telah melanggar sanksi PBB.
Beberapa diplomat PBB yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan, rancangan resolusi yang diperbarui tentang pencabutan sanksi Korea Utara akan mendapat sedikit dukungan.
Seorang penyelidik hak asasi PBB bulan lalu menyerukan agar ada pelonggaran sanksi terhadap Korea Utara. Karena negara tersebut mengalami risiko kelaparan sejak pandemi Covid-19.
Korea Utara telah lama menderita kerawanan pangan. Para pengamat mengatakan, kerawanan pangan disebabkan oleh salah urus ekonomi, yang diperburuk oleh sanksi dan pandemi Covid-19.