Selasa 02 Nov 2021 19:32 WIB

Mempertanyakan Arah Kebijakan Indonesia Soal Uang Kripto

Di Indonesia hingga kini masih terjadi dualisme mengenai status aset kripto.

Uang kripto (ilustrasi)
Foto: Pixabay
Uang kripto (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lida Puspaningtyas, Novita Intan

Investasi aset kripto makin digandrungi oleh kaum milenial. Hal ini ditunjukkan oleh semakin meningkatnya transaksi crypto exchange terdaftar resmi di Indonesia.

Baca Juga

Di Indonesia hingga kini masih terjadi dualisme mengenai status aset kripto. Karena itu, masyarakat dinilai perlu melakukan pendekatan yang holistik dalam berinvestasi pada aset kripto. 

Dari sisi regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menegaskan bahwa saat ini aset kripto tak bisa dipakai berbelanja di Indonesia karena merupakan jenis komoditas, bukan sebagai alat pembayaran yang sah.

“OJK telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai otoritas pembayaran dan menyatakan mata uang kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia,” tulis OJK.

Saat ini OJK tidak melakukan pengawasan dan pengaturan atas aset kripto, tetapi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan. Merujuk pada Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019, crypto asset atau aset kripto adalah komoditas yang tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain. Bappebti telah mengeluarkan daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan dan pedagang aset kripto yang telah mendapat persetujuan untuk melakukan transaksi aset kripto.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada Juli 2021, jumlah pengguna kripto di Indonesia sebanyak 7,4 juta orang. Angka ini tumbuh dua kali lipat dalam setahun dengan nilai transaksi yang juga meningkat secara signifikan. 

Sementara di Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga saat ini fatwa mengenai kripto masih dibahas. "Masih didalami, karena menurut responden, kripto itu ada dua, ada yang memiliki underlying dan ada yang tidak. Komisi masih mendalami kripto yang katanya ada underlying-nya. Kalau ada underlying, apakah underlying-nya termasuk yang sesuai dengan ketentuan syariah atau tidak," kata Sekretaris Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN MUI, Prof Jaih Mubarok kepada Republika.co.id, Selasa (2/11).

Prof Jaih mengatakan, pembahasan dan perumusan fatwa melibatkan para praktisi yang ahli dan aktif di industri kripto. Pekan lalu, Komisi Fatwa MUI mengundang pemateri dari Bappebti dan asosiasi kripto, Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo).

Ahli keuangan syariah dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Dian Masyita, mengatakan, sebelum 'terjun' masyarakat perlu mempelajari secara detail, memahami profil diri, merenungkannya secara holistik baru mengambil keputusan.

"Saat negara membutuhkan banyak dana murah untuk mengatasi permasalahan dalam negeri, apakah bijaksana kalau uang ratusan triliunan rupiah setiap hari ditransaksikan untuk membeli bitcoin, ethereum, dan crypto currency yang membuat uang rupiah mengalirnya entah ke mana?" katanya dalam Webinar Peluang dan Tantangan Cryptocurrency pada Era Digital dalam Perspektif Syariah, Senin (1/11).

Dalam pandangan Islam, perekonomian sangat lekat kaitannya dengan menggerakkan sektor riil dan memiliki nilai sosial atau kemaslahatan. Saat sektor riil mengalami krisis pada masa pandemi ini, pemerintah berutang keluar negeri dalam jumlah besar dengan bunga yang tinggi.

Hal ini dilakukan untuk membuat ekonomi tetap berputar di tengah pandemi. Dian mempertanyakan kebijaksanaan investor dalam menempatkan instrumen investasinya dan keterkaitannya dengan menggerakkan sektor riil.

"Jika ratusan triliun tersebut capital flight semua, di mana rational-nasionalismenya?," katanya.

Dari sisi syariah, sudah ada banyak pendapat meski tidak resmi dan baru dalam bentuk rekomendasi. Dian mengatakan, pada akhirnya mata uang pemenang adalah mata uang digital yang kuat, yaitu mata uang yang dimiliki oleh negara yang kuat atau yang memiliki global economic network yang kuat.

Dan aset digital yang jadi pemenang adalah aset yang kuat menyimpan nilai. Selain itu, harus aset yang terbaik keamanannya, paling diterima oleh masyarakat, terbaik ekosistemnya, paling stabil, terbaik layanannya, dan membawa kebaikan baik dirasakan oleh pemilik maupun orang di sekitarnya atau ada nilai sosialnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement