REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Presiden Prancis Emmanuel Macron menunda rencana memberlakukan sanksi dagang pada Inggris. Dengan demikian, kedua belah pihak dapat menegosiasikan proposal baru untuk meredakan perselisihan mengenai hak-hak penangkapan ikan pasca-Brexit.
Sebelumnya, Prancis mengatakan, mulai Senin (1/11) mereka akan menerapkan pembatasan perdagangan lintas selat. Hal ini mengancam perselisihan mengenai perikanan menjadi sengketa perdagangan yang lebih luas antara dua perekonomian besar di Eropa.
Namun, Macron mengatakan, Prancis akan menahan rencana tersebut untuk menggelar pembicaraan baru. Hal itu ia sampaikan setelah bertemu dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dalam pertemuan sela Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia.
"Sejak sore ini, diskusi dilanjutkan berdasarkan proposal yang saya sampaikan ke Perdana Menteri (Boris) Johnson, pembicaraan harus dilanjutkan," kata Macron, Selasa (2/11).
"Yang saya pahami Inggris akan kembali ke kami dengan proposal yang lain, semuanya akan dikerjakan. Kami akan melihat di mana kami besok untuk melihat apakah ada hal yang benar-benar berubah. Saya berharap kami dapat menemukan jalan keluar pada isu-isu ini," ujar Macron.
Di Twitter, Menteri Urusan Eropa Clement Beaune mengatakan, sanksi perdagangan tidak akan diberlakukan sebelum ia bertemu dengan Menteri Brexit Inggris David Frost di Paris, Kamis (4/11) mendatang. Britania menyambut baik keputusan tersebut.
"Kami menyambut kesadaran Prancis dibutuhkannya diskusi mendalam untuk menyelesaikan berbagai kesulitan hubungan Inggris/Uni Eropa," kata juru bicara Pemerintah Inggris dalam pernyataannya.
Juru bicara Pemerintah Inggris menambahkan, Frost menerima undangan Beaune. Sebelumnya Inggris memberi Prancis 48 jam untuk menarik ancaman sanksi atau menghadapi aksi hukum berdasarkan kesepakatan dagang Brexit.
Langkah-langkah yang diancam Prancis antara lain meningkatkan cukai perbatasan dan sanitasi barang dari Inggris serta melarang kapal Inggris berlabuh di pelabuhan Prancis. Langkah ini berpotensi mengganggu perdagangan lintas selat.
"Prancis membuat ancaman yang tidak masuk akal, termasuk pada Kepulauan Channel dan industri perikanan kami. Mereka harus menarik ancaman-ancaman itu atau kami akan mengambil tindakan dengan menggunakan mekanisme perjanjian dagang kami dengan Uni Eropa," kata Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss.
Kepulauan Channel terdiri atas sekelompok pulau di lepas pesisir Normandia, Prancis, di Selat Inggris. Selama beberapa dekade, Inggris dan Prancis berselisih mengenai akses penangkapan ikan di pinggir pantai Kepulauan Channel.
Masalah perikanan mengganggu negosiasi yang mendorong Inggris keluar dari Uni Eropa. Bukan karena kepentingan ekonomi, tapi lebih pada signifikansi politik.
Pemerintah Inggris menegaskan kembali kendali Britania pada perairan penangkapan ikan menjadi isu utama yang Johnson presentasikan pada pemilih dalam referendum Brexit. Sementara Macron akan menjalani pemilihan umum tahun depan dan harus tegas membela nelayan-nelayan Prancis, konstituen politik yang vokal.
Perselisihan pecah pada September setelah Paris menuduh London gagal memberikan izin yang cukup pada kapal-kapal nelayan Prancis untuk beroperasi di perairan Inggris. Britania mengatakan sudah mengeluarkan izin pada kapal-kapal yang dapat membuktikan mereka mencari ikan di perairan itu sebelumnya.
Bukti tersebut diminta nelayan-nelayan Inggris yang cemas nelayan Prancis merebut keuntungan dari mereka. Pada Rabu (26/10) lalu pihak berwenang Prancis menyita kapal keruk kerang Cornelis Gert Jan di perairan Prancis dekat le Havre. Langkah ini membuat berang Inggris.
Berdasarkan data pelacakan kapal nelayan dan perwakilan industri Prancis, pada Senin sore kapal-kapal nelayan Inggris dan Prancis saling menjauh. Tampaknya mereka menghindari ketegangan saat tenggat waktu ancaman Prancis semakin dekat.