Rabu 03 Nov 2021 01:55 WIB

Indonesia Janji Rem Deforestasi, Greenpeace Tagih Aksi Nyata

Greenpeace Indonesia menuntut pemerintah melakukan aksi nyata menyetop deforestasi.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berjalan di sela-sela menghadiri KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris, Senin (1/11/2021).
Foto: Antara/Biro Pers Media Kepresidenan/Laily Rac
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berjalan di sela-sela menghadiri KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris, Senin (1/11/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) bersama lebih dari 100 pemimpin dunia berjanji akan menghentikan deforestasi dan mengembalikan fungsi hutan pada 2030 melalui kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia. Menanggapi hal ini, Greenpeace Indonesia menuntut pemerintah melakukan aksi nyata.

"Kita lihat dari aksi nyatanya sebenarnya," ujar Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, saat dihubungi Republika, Selasa (2/11).

Baca Juga

Dia berkaca pada upaya yang belum maksimal dari pemerintah Indonesia atas komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dalam Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang merupakan tindak lanjut Paris Agreement yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Lima sektor yang menjadi fokus untuk kontribusi upaya penurunan emisi ialah sektor kehutanan.

Iqbal mengatakan, pada sektor kehutanan itu salah satu upaya yang dilakukan yakni mengakhiri deforestasi. Namun, lanjut dia, tidak dipastikan dengan jelas apakah para pemimpin dunia termasuk Indonesia sepakat untuk target zero deforestation, termasuk sepakat tidak membeli produk atau membuka pasar bagi produk-produk yang berasal dari deforestasi.

Bahkan, Iqbal menyebutkan, di tengah komitmen menekan laju deforestasi, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari 2,45 juta hektare (2003-2011) menjadi 4,8 juta hektare (2011-2019). Data KLHK juga menyebutkan, terdapat peningkatan laju deforestasi, dari 1,1 juta hektare per tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta hektare per tahun (2013-2017).

Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam dua tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua). Selama masa kepemimpinan Presiden Jokowi dan Menteri LHK Siti Nurbaya, hasil kajian Greenpeace menyebutkan, pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua mencapai 900 ribuan hektare.

Sisanya masih ada sekitar 600 ribuan hektare yang memiliki tutupan hutan alam. Jika kawasan ini pun dideforestasi, Iqbal menyebutkan, ada potensi sumbangan emisi yang lepas sebanyak 71,2 ton.

Menurut Greenpeace Indonesia, penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021 yang diklaim pemerintah itu terjadi karena situasi sosial politik dan pandemi yang membuat aktivitas pembukaan lahan terhambat. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.

"Jadi di 2050 di dalam dokumen low carbon-nya itu Indonesia masih ada 6,5 juta hektare yang akan terdeforestasi atau sudah di dalam perencanaan atau sudah dalam pelepasan/pemberian izin. Kalau dengan kebijakan yang ada saat ini itu sampai 14,2 juta hektare yang akan terdeforestasi," jelas Iqbal.

Dia juga mengatakan, pemerintah perlu mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) untuk menghentikan deforestasi. Penurunan luas kebakaran hutan dan lahan pada 2020 dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektare lebih disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina, bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah.

Saat ini, pemerintah pun masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri menggarap lahan gambut. Pemerintah seharusnya proaktif menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut.

Pemerintah juga harus mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut. Komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan penindakan tegas seperti mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan agar memberikan efek jera, ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan.

Penelitian Greenpeace Indonesia terbaru mengungkapkan, hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut, berada pada level kritis yang disebabkan penggunaan lahan untuk HTI dan perkebunan sawit skala besar. Sudah saatnya Indonesia segera mengakhiri deforestasi yang didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang ketat, yang mengakui hak atas tanah masyarakat adat, melindungi hutan secara total, serta menghilangkan deforestasi melalui rantai pasokan industri berbasis lahan.

Menurut dia, Indonesia ditantang untuk benar-benar merealisasikan komitmennya dengan cara yang transparan. Seandainya pemerintah bisa serius merealisasikan komitmennya, Iqbal berharap zero deforestation bisa diwujudkan demi mengendalikan perubahan iklim.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement