REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Klub bola basket Yayasan Cahaya Lestari Surabaya (CLS) akhirnya buka suara terkait gugatan hukum yang dilayangkan kepada Dimaz Muharri, mantan pemain CLS Knights yang mundur dari klub pada 2015. CLS menyatakan secara resmi akan menghentikan proses pengadilan dengan tidak memasukkan pembaharuan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya terkait sengketa perjanjian hukum dengan Dimaz. CLS diwakili oleh kuasa hukumnya Michael Sugijanto dan Anthonius Adhi, serta Ex-Managing Partner CLS Knights Surabaya Christopher Tanuwidjaja.
“Hari ini, saya sebagai kuasa hukum Yayasan CLS, dalam hal ini bertindak mewakili saudara Christopher Tanuwidjaja. Di mana kedudukan beliau saat itu adalah Ex-Managing Partner tim bola basket CLS Knights Surabaya, klub basket tempat dimana saudara Dimaz Muharri bernaung. Menyatakan bahwa klien kami atas pertimbangan hati nurani dan tidak dalam tekanan pihak manapun, dengan ini tidak akan memperbaharui perkara gugatan kepada saudara Dimaz Muharri di Pengadilan Negeri Surabaya," kata Michael dalam konferensi pers, Selasa (2/11).
Ia mengatakan, Pengadilan Negeri Surabaya tidak menolak gugatan kliennya. Hanya, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan agar ia memperbaharui gugatan.
"Setelah kami berdiskusi dengan pihak Yayasan CLS, justru saudara Christopher Tanuwidjaja-lah yang meminta untuk tidak melanjutkan gugatan hukum kepada Dimaz,” kata Michael.
Sementara itu Itop, sapaan Christopher, juga menuturkan bahwa permasalahan dengan Dimaz sebenarnya bukan perkara besar. Pria yang saat ini menjabat sebagai manajer timnas basket putri Indonesia mengatakan, hanya ingin iktikad baik dari Dimaz untuk permisi kepada pihak CLS jika ingin membela klub lain. Sebab, kata dia, Dimaz punya perjanjian yang telah ditandatangani bahwa jika ia bermain untuk tim mana pun dan kompetisi apa pun, harus terlebih dahulu membayar sejumlah uang. Setelah mundur dari CLS pada 2015, Dimaz sempat membela Louvre Surabaya di kompetisi IBL 2000.
Menurut Itop, meskipun ada perjanjian soal kompensasi tersebut, pihaknya terbuka untuk menjalin komunikasi, tak mesti Dimaz membayar uang sesuai dengan kesepakatan tertulis itu. "Secara etika, kedua belah pihak haruslah saling menghormati kesepakatan yang tertulis dan dituangkan dalam legalitas perjanjian bersama yang sudah disepakati sebelumnya," kata Itop.
Itop menambahkan, dari awal ia sudah mengatakan kepada pengacaranya maupun kepada pihak Perbasi yang saat itu menjadi mediator dalam proses mediasi, bahwa kasus ini sebenarnya bukan soal uang. "Kami hanya menyayangkan etika Dimaz terhadap apa yang sudah disepakati dan didasari oleh legalitas hukum yang kuat dan sah," kata dia.
Ia menegaskan, tidak mau melanjutkan gugatan baru kepada Dimaz karena dicari bukanlah kalah atau menang. Ia mengatakan, selama ini pihak CLS diam bukan berarti takut atau sombong atau bahkan tidak manusiawi seperti banyak gambaran yang dilemparkan oleh warganet. "Kami memilih diam agar permasalahan ini tidak melebar ke hal – hal lain," kata Itop.
Itop menegaskan, ia menganggap Dimaz sebagai keluarga sendiri. Sikap yang diambilnya, kata dia, lebih kepada bentuk memberikan pengajaran. Namun setelah dalam perjalanannya Dimaz tetap pada pendiriannya tak merespons tawaran mediasi, Itop memilih berhenti melanjutkan kasus hukum ini, meskipun punya peluang untuk memperbaiki gugatan agar diterima majelis hakim.
Itop pun sudah tak mau ambil pusing atau mengambil langkah hukum jika ke depan Dimaz misalnya membela klub lain. "Terserah dia saja," katanya.
Sementara, Ketua Yayasan Cahaya Lestari Surabaya Ming Sudarmono lewat keterangan tertulisnya turut menyampaikan pesan agar permasalahan ini bisa menjadi contoh untuk industri olahraga di Indonesia khususnya di cabang basket agar saling menghormati payung hukum yang sudah disepakati bersama.
“Mengapa kami sangat berhati-hati sekali memberikan komentar dan tidak mudah memberikan tanggapan baik di media social maupun di media massa terkait dengan permasalah ini, karena diawal sebenarnya kami tidak ingin menggiring opini publik dari satu sisi sudut pandang kami semata," kata Ming.
"Ke depan kami berharap urusan ini dapat diselesaikan dengan sebaik mungkin dan Yayasan CLS selanjutnya akan terus berkomitmen membina dan mencetak para pebasket yang nantinya kelak bisa membela Indonesia di berbagai ajang kejuaraan internasional seperti para senior mereka terdahulu," kata Ming.
"Salah satu visi dan misi kami adalah menciptakan manusia yang berkarakter, berkepribadian baik dan mengantarkan mereka untuk meraih mimpinya dalam hal jenjang pendidikan. Yayasan CLS sudah banyak mengantarkan “anak-anak” mendapatkan bea siswa ke jenjang pendidikan S1 bahkan S2. Hubungan kami dengan para mantan pemain CLS, termasuk mereka yang masih aktif bermain dan sudah berganti klub sangat bagus,” kata Ming.