REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid 19, membuat banyak sektor usaha terdampak. Namun, di tengah ketidakpastian, seorang pebisnis garment asal Bandung, justru dengan berani membuat brand baru bernama Dama Kara.
Inovasi ini dibuat, karena Founder Dama Kara Nurdini Prihastiti awalnya ingin mempertahakan puluhan penjahitnya agar tak sampai di PHK akibat pukulan Pandemi Covid 19. Namun, di tengah perjalanan dengan Dama Kara, Dini tak hanya bisa mempertahankan karyawannya. Ia pun, bisa melakukan kegiatan mulia yakni memberi ruang pada anak-anak autis untuk berkarya.
"Jangan larut dalam masalah, tapi harus segera mencari solusinya. Apa pun yang terjadi jangan pikirkan masalahnya, tapi solusinya. Karena, banyak yang menggantungkan hidup ke kita," ujar Nurdini yang akrab disapa Dini kepada Republika, Rabu (3/11).
Dini bercerita, sebelum pandemi Covid 19 melanda, Dama Kara yang saat itu bernama Indo Garment sebernanya sudah mengalami hantaman ujian bisnis yang cukup berat. Saat masih recovery, Covid-19 melanda ke seluruh negeri. Ujian bisnis, dimulai pada 2019, Dama Kara kebanjiran orderan dari Kalimantan dari sebuah perusahaan yang memesan seragam kerja, kaos, dan jaket untuk event gathering sekaligus launching produk.
Saat itu, Dini yang berbisnis garment bersama suaminya, Bheben Oscar, tak menyangka bisnisnya akan diterpa badai hebat. Ujian, berawal saat dia mengirimkan pesanan produk garmentnya dengan menggunakan truk ke Kalimantan Timur. Dari Bandung, truk itu menempuh perjalanan ke Surabaya kemudian naik kapal laut ke Kaltim.
"Tapi belum sampai ke tujuan, kapalnya terbakar di perairan laut Masalembo. Saat itu, menggunakan Kapal Santika Nusantara semuanya kebakar habis barang yang ada di sana, jadi kita harus produksi ulang. Harus buat lagi," katanya.
Dini mengatakan, kejadian itu menjadi salah satu kerugian terbesar selama berbisnis garment. "Kerugiannya, hampir Rp 500 juta. Kejadian ini menjadi titik balik bagi hidup saya. Ketika Allah SWT mau ngambil apa yang kita punya, bisa kapan saja dan bagaimana pun," katanya.
Dia pun kemudian merenung. Ia berpikir hidup hanya sekali dan jadi ingin bermanfaat untuk orang lain tak hanya berbisnis mencari keuntungan. Karena harta hanya titipan, dia ingin memiliki bisnis yang bisa bermanfaat untuk semua orang bukan hanya untuk pegawainya saja.
"Terus, saya mencari bisnis apa yang bisa masih berkaitan dengan pakaian tapi bisa bermanfaat untuk semua orang," katanya.
Dini pun, sempet membaca sebuah hasil penelitian kalau jumlah anak autis di Indonesia saat ini mencapai sekitar 112 ribu. Tapi jumlah tersebut, hanya yang terlaporkan. Padahal, masih banyak keluarga yang menganggap autis itu sebagai aib jadi masih menutupi.
"Keluarga masih ada yang menutupi dan masyarakat juga ada yang tak bisa menerima keberadaan autis. Padahal, kan Allah SWT menciptakan manusia tak mungkin hanya kekurangannya saja, pasti ada kelebihannya," katanya.
Di Inggris, kata Dini, ada anak autis yang usianya 10 tahun memiliki kepiawan melukis. Selain itu, melukis bisa menjadi bentuk terapi. Ia pun yakin, anak-anak autisme ada yang memiliki kelebihan melukis dan bisa berkarya.
"Akhirnya, saya bikin Dama Kara di awal tahun 2020. Saya cari di Bandung tempat untuk terapi anak-anak autis akhirnya ketemu dengan yayasan terapi anak berkebutuhan khusus autisme," katanya.
Dini, kemudian mencari nama untuk produk pakaian yang salah satu desain gambarnya dibuat oleh anak-anak autis. Tercetus lah, nama Dama Kara yang terdiri dari dua kata. Yakni, Dama yang berarti tingkatan tertinggi pada sebuah kebajikan. Serta Kara, yang berarti kelapa sebagai buah yang pohon hingga buahnya sangat bermanfaat.
"Dengan nama Dama Kara itu, saya berharap bisa bermanfaat bagi semuanya ," katanya.
Dama Kara, kata dia, membuat koleksi pakaian volume ganjil dan genap. Koleksi ganjil, adalah gambar anak-anak autis menggunakan kain tradisional untuk terapi menggambar. Lalu, akan dipilih gambar terbaik menjadi volume genap dan dibuat menjadi produk fashion. Anak autis, bisa mengikuti kegiatan menggambar secara gratis dengan semua peralatan di support Dama Kara.
"Volume ganjil koleksinya batik. Hasil gambar anak autis yang bagus, di angkat ke koleksi volume genap. Gambar anak autis yang masuk ke volume genap akan dapat royalti selama motifnya dipakai Dama Kara, mereka dapat royalti tiap bulan," paparnya.
Saat ini, kata dia, ada tiga anak yang karyanya sudah diangkat menjadi volume genap dan dipasarkan dalam produk fashion. Dama Kara pun, akan mengembangkan program memberi ruang berkarya untuk anak autis ini ke Magelang.
Dini menjelaskan, saat pertama membuat produk fashion hasil gambar anak autis, dia hanya membuat 3 sampai 5 buah saja. Tapi, dia menambah produksi karena penerimaannya sangat baik.
"Pada awal pandemi, banyak yang di rumah saja, kebutulan pakaian yang kami buat sangat mendukung WFH jadi penerimaannya cukup bagus," katanya.
Untuk pemasaran, menurut Dini, awalnya pihaknya fokus ke penjualan dalam negeri. Tapi, kemudian permintaan dari luar negeri mulai bermunculan seperti ke Singapura, Hongkong, Australia, dan paling jauh ke Brazil.
"Saya saat menjual produk nggak terlalu bilang soal autisme, tapi lebih banyak cerita produknya. Harapannya, mereka membeli karena produknya yang bagus bukan karena anak autis yang bikin," katanya.
Namun, menurut Dini, di setiap produknya selalu ada kartu yang berisi penjelasan kalau mereka membeli produk Dama Kara, berarti ikut mendukung terapi menggambar anak autis. Serta, bisa mendukung karya anak autis.
"Berbisnis ada unsur sosialnya ini yang saya rasakan banyak bantuan yang tak terkira. Selain itu, banyak hal-hal diluar nalar. Kalau kita mau berbuat kebaikan, maka berbuat saja dulu nanti kebaikan lain akan menyertai. Saya punya 53 ribu follower hanya 2,5 tahun. Nggak menyangka saja dan nggak terpikirkan," katanya.
Senada dengan Dama Kara, empat Wirausaha Unggulan BI Jawa Barat (WUBI) di produk fashion, berkolaborasi dalam sebuah brand “SAGARAYASA” ingin berusaha sambil bisa bermanfaat untuk lingkungannya. Salah satunya, membuat produk fashion dengan memanfaatkan limbah tekstil.
"Kami himpun kekuatan dengan kolaborasi jadi bisa. Dari 4 brand kami visinya ingin suistanble fashion karena kan tekstil salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia," ujar salah satu penggagas SAGARAYASA, Ratih Miranti.
Oleh karena itu, kata Ratih, ia dan rekan-rekannya sepakat membuat produk ramah lingkungan dengan mengolah limbah tekstil yang diolah lagi jadi benang, kemudian di pintal menjadi kain dan dibuat kembali menjadi baju siap pakai.
"Kami memang baru berdiri, tapi sudah punya toko offline dan online. Kami juga ke Sydney karena ingin menduniakan tenun Sagarayasa ini," katanya.
Pandemi pun, kata dia, tak akan menghentikan pihaknya berkarya. Karena, SAGARAYASA justru memberdayakan masyarakat yang di PHK dan terdampak pandemi.
Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jabar, Herawanto, wirausaha muda yang tergabung dengan WUBI telah menjadi mitra BI Jawa Barat dan disiapkan menjadi New UMKM sebagai kekuatan ekonomi nasional yang bercirikan pemanfaatan digital secara end-to-end dan berorientasi ekspor.
Menurutnya, konsep green economy yang diusung SAGARAYASA dilakukan mulai dari pemilihan bahan baku benang dan kain yang bersumber dari limbah yang diolah lebih lanjut dan pewarnaan yang menggunakan bahan-bahan alam.
"Bahkan, dalam mewujudkan karyanya, SAGARAYASA memberdayakan tenaga kerja, khususnya wanita (ibu-ibu) yang berada di lingkungan sekitar. Hal ini sebagai wujud upaya memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar," ujar Herawanto.
Herawanto mengatakan, Bank Indonesia, terus bersinergi mendukung UMKM yang berkualitas dengan menggunakan teknologi agar produknya bisa diekspor. "Jabar ini kan gudangnya kreativitas inovasi. Ini yang harus didorong oleh NKRI agar UMKM naik kelas untuk ekspor," katanya.
Menurut Ketua Dekranasda Jabar Atalia Praratya Kamil, di tengah persaingan ekonomi, pelaku koperasi dan UKM ini harus terus berinovasi. Ia pun, mengapresiasi langkah BI Jabar yang bermitra dengan para pelaku koperasi dan UKM ini yang menghasilkan produk Green Economy.