REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan komitmen jangka panjang otoritas untuk melaksanakan kebijakan keuangan berkelanjutan dalam mendukung ekonomi hijau.
Hal ini diungkapkan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso acara Ministerial Talks on Achieving Ambitious Target on GHG Emission Reduction, yang digelar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Paviliun Indonesia sebagai bagian dari COP 26 di Glasgow, Skotlandia. COP 26 atau Conference of the Parties ke-26 merupakan forum tingkat tinggi para pihak yang melibatkan 197 negara untuk membicarakan dan menanggulangi isu perubahan iklim.
Wimboh menyatakan OJK memegang komitmen jangka panjang terhadap sustainable finance untuk memastikan kelancaran transisi menuju ekonomi rendah karbon.
“OJK mendukung komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Perjanjian Paris serta langkah negara untuk mencapai tujuan Net Zero Emission,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip Rabu (3/11).
Berdasarkan data terkini, nilai pembiayaan berkelanjutan di Indonesia sebesar 55,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp 809,75 triliun, penerbitan green bond di pasar domestik sebesar 35,12 juta dolar AS atau 0,01 persen dari total outstanding bond.
Sedangkan global sustainability bond yang diterbitkan oleh emiten Indonesia sebesar 2,22 miliar dolar AS atau setara Rp 31,6 triliun dan portofolio blended finance telah mendapatkan komitmen sebesar 2,46 miliar dolar AS atau setara Rp 35,6 triliun.
Indeks SRI-Kehati ESG juga telah membuktikan ketangguhannya selama pandemi dan mengungguli indeks harga saham gabungan (IHSG). Dari sektor perbankan, total pinjaman terkait keuangan berkelanjutan sebesar 55,9 miliar dolar AS atau setara Rp 809,75 triliun.
Sementara itu, hampir 50 persen bank di Indonesia yang mewakili 91 persen total aset pasar perbankan menunjukkan peningkatan komitmen dalam penerapan keuangan berkelanjutan. Hal tersebut diukur dari Laporan Keberlanjutan dari tiap-tiap bank.
Menurut Wimboh OJK memantau risiko terkait perubahan iklim serta krisis energi yang menekan ekonomi global. Adapun tingginya biaya transisi ke ekonomi rendah karbon membawa tantangan dalam mempercepat pembiayaan berkelanjutan di negara berkembang.
“Risiko perubahan iklim tersebut juga harus diperlakukan sebagai prioritas tinggi dan perlu dikurangi dengan upaya kolaboratif seluruh pemangku kepentingan,” ucapnya.
Wimboh menyampaikan komitmen OJK dalam mengakselerasi keuangan berkelanjutan telah diwujudkan dalam penerbitan Roadmap Keuangan Berkelanjutan pada 2015 - 2019. Adapun langkah itu kemudian dilanjutkan pada tahap kedua, yakni 2020 hingga 2024.
Sasaran strategis Roadmap Keuangan Berkelanjutan meliputi terciptanya ekosistem, yang mendukung percepatan keuangan berkelanjutan, peningkatan pasokan dan permintaan dana serta instrumen keuangan yang ramah lingkungan. Selain itu, turut serta dalam penguatan pengawasan dan koordinasi dalam penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia.