Rabu 03 Nov 2021 09:46 WIB

Muslim Sri Lanka Hadapi Diskriminasi dan Pelecehan

Permusuhan terhadap Muslim Sri Lanka meningkat pada taraf yang mengkhawatirkan

Seorang pria memegang plakat bertuliskan mengapa presiden takut pada menteri kehakiman saat protes oleh biksu Buddha Sri Lanka yang pro-pemerintah di luar kantor presiden meminta pemerintah untuk tidak meninjau kebijakan wajib kremasi bagi korban COVID-19 Muslim, di Kolombo, Sri Lanka, Senin, 28 Desember 2020.
Foto: AP/Eranga Jayawardena
Seorang pria memegang plakat bertuliskan mengapa presiden takut pada menteri kehakiman saat protes oleh biksu Buddha Sri Lanka yang pro-pemerintah di luar kantor presiden meminta pemerintah untuk tidak meninjau kebijakan wajib kremasi bagi korban COVID-19 Muslim, di Kolombo, Sri Lanka, Senin, 28 Desember 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zahrotul Oktaviani

KOLOMBO -- Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyebut Muslim di Sri Lanka secara konsisten menjadi sasaran karena keyakinan agama mereka. Sejak 2013, mereka menghadapi diskriminasi, pelecehan dan kekerasan dari mayoritas Buddha di negara itu.

Dalam sebuah laporan yang baru-baru ini dikeluarkan, Amnesty mengatakan permusuhan terhadap Muslim meningkat pada taraf yang mengkhawatirkan, utamanya sejak serangan bom Paskah pada 2019 dengan persetujuan diam-diam dari pihak berwenang.

"Diskriminasi ini telah berkembang dari serangkaian serangan massa yang dilakukan dengan impunitas, menjadi kebijakan pemerintah yang secara eksplisit mendiskriminasi Muslim, termasuk kremasi paksa korban Covid-19 Muslim dan proposal saat ini melarang Niqab (cadar) dan madrasah (sekolah agama)," tulis laporan tersebut dikutip di 5 Pillars UK, Rabu (3/11).

Wakil Sekretaris Jenderal Amnesty International, Kyle Ward, mengatakan sentimen anti-Muslim di Sri Lanka bukanlah hal baru. Namun, situasinya meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Insiden kekerasan terhadap Muslim, yang dilakukan dengan persetujuan diam-diam dari pihak berwenang, terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan. Hal ini disertai dengan adopsi retorika dan kebijakan pemerintah saat ini, yang secara terbuka memusuhi umat Islam.

“Pihak berwenang Sri Lanka harus mematahkan tren yang mengkhawatirkan ini dan menegakkan tugas mereka melindungi Muslim dari serangan lebih lanjut, meminta pertanggungjawaban pelaku dan mengakhiri penggunaan kebijakan pemerintah untuk menargetkan, melecehkan dan mendiskriminasi komunitas Muslim,” kata dia.

Gerakan nasionalis Buddhis Sinhala, kelompok di balik mayoritas kekerasan anti-Muslim, memiliki tujuan menegakkan supremasi politik, ekonomi dan agama Buddhis Sinhala. Mereka percaya, umat Islam asing bagi negara dan keberhasilan ekonomi maupun demografi yang mereka rasakan tidak proporsional, sehingga menimbulkan ancaman bagi umat Buddha Sinhala.

Permusuhan yang meningkat ini disebut dimulai dengan kampanye anti-halal. Saat itu, kelompok nasionalis Buddha Sinhala berhasil melakukan lobi mengakhiri sertifikasi halal makanan, sebagai tanda makanan yang boleh dikonsumsi oleh umat Islam sesuai dengan Alquran dan adat istiadat Islam.

Kampanye tersebut lantas memunculkan sejumlah serangan terhadap masjid dan bisnis Muslim. Laporan yang sama menyebut, kurangnya akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab bertindak sebagai sinyal kepada orang lain, bahwa tindakan kekerasan terhadap Muslim dapat dilakukan dengan impunitas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement