REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terapi monoklonal mampu mengurangi penyakit parah dan kematian pada orang berisiko tinggi yang terinfeksi varian delta SARS-CoV-2 hingga 100 persen. Kemanjuran terapi monoklonal itu terungkap dalam studi pertama di dunia yang dilakukan oleh AIG Hospitals melalui Asian Healthcare Foundation bersama Centre for Cellular & Molecular Biology-Hyderabad dan Institute of Life Sciences, University of Hyderabad.
Dari 285 orang peserta penelitian, lebih dari 98 persen di antaranya diidentifikasi terkena serangan varian delta. Studi memperlihatkan bahwa 75 persen pasien yang mendapat terapi monoklonal memiliki hasil tes RT-PCR (reverse transcription-polymerase chain reaction) negatif pada hari ketujuh.
Sementara itu, 78 persen pasien sembuh dari gejala klinis Covid-19 seperti demam, batuk, dan lainnya pada hari ketujuh. Mereka mendapatkan terapi monoklonal yang terdiri dari campuran Casirivimab 600 mg dan Imdevimab 600 mg.
Dalam studi diterbitkan di jurnal peer-review, International Journal of Internal Medicine, itu tampak tidak ada peserta penelitian yang mengembangkan penyakit parah atau meninggal. Di samping itu, tidak ada peningkatan penanda inflamasi pada pasien yang menyebabkan penyakit parah.
Selama masa tindak lanjut, tidak ada pasien yang melaporkan gejala pasca-Covid. Aktivitas penetralan terapi monoklonal tampak serupa di galur (strain) asli Wuhan dan varian delta.
"Hasilnya mencengangkan dan akan membantu mengarahkan pembentukan kebijakan kesehatan masyarakat untuk pengobatan Covid-19, terutama pada individu berisiko tinggi, mereka yang berusia di atas 60, atau bahkan di bawah 60 tetapi dengan diabetes, hipertensi, obesitas, ibu hamil, orang dengan penyakit kronis. Semua akan sangat diuntungkan," kata D Nageshwar Reddy, Ketua Rumah Sakit AIG, di Hyderabad, dilansir Times Now News, Kamis (4/11).